Search This Blog

Thursday, November 18, 2010

Meluruskan Silang Pendapat tentang Teori Evolusi Biologis

LIMA puluh tahun lalu, tepatnya 25 April 1953, persoalan struktur tiga dimensi asam nukleat atau DNA, sebagai materi pembawa informasi genetis terpecahkan melalui kerja keras JD Watson, FHC Crick, MHF Wilkins, dan si cantik, Rosalind E Franklin. Sebulan kemudian, 30 Mei 1953, implikasi biologis terhadap penemuan tersebut diuraikan. Sambil mengingat kembali kejadian 50 tahun lalu, kita diramaikan oleh perdebatan sengit antara Wildan Yatim, dosen senior Biologi Sel dari Universitas Padjadjaran, dan Taufikurahman, staf pengajar pada Departemen Biologi FMIPA ITB. Yang diperdebatkan itu tidak tanggung-tanggung: Teori Evolusi!

PERDEBATAN yang disuguhkan Kompas (23 April 2003 dan 8 Mei 2003) itu diawali dengan paparan Wildan Yatim dalam artikelnya yang berjudul "Ada Bantahan terhadap Teori Evolusi?" Dalam tulisan tersebut, Wildan menolak keras press release Taufikurahman yang mengusulkan agar pelajaran Biologi direvisi.

Sambil menolak keras usulan tersebut, Wildan menghadapmukakan pandangan seorang penulis asal Turki, Harun Yahya, yang menurut Wildan menjadi acuan Taufikurahman menolak Teori Evolusi Darwin, dengan keempat tesis utama Charles Robert Darwin tentang evolusi biologis. Penolakan Wildan tersebut disokong dengan pendapat para ahli biologi pendukung Teori Seleksi Alamiah Darwin, seperti Alfred R Wallace, Ernst Haeckel, serta data yang bertebaran dalam bidang-bidang penyelidikan ilmu-ilmu hayati.

Penolakan Wildan terhadap ide untuk merevisi pelajaran Biologi berdasarkan pemahaman yang menurut dia telah out of date dan tidak ilmiah itu memecut rasa kejantanan sang dosen ITB tersebut, "Sudah lama saya meragukan keabsahan teori Darwin", dan "bukan semata-mata karena saya membaca buku-buku karangan seorang penulis Turki bernama Harun Yahya seperti yang dituduhkan Wildan Yatim," demikian Taufikurahman. Dasar penolakan yang digunakan Taufikurahman menolak Teori Evolusi Darwin lebih merupakan alasan keyakinan agama bahwa Tuhan adalah pencipta semua makhluk hidup di dunia.

Untuk mempertahankan pendapatnya, Taufikurahman juga menyitir silang pendapat dari berbagai kalangan, termasuk debat Bishop Oxford Samuel Wilberforce dengan Thomas Huxley pada pertemuan tahunan The British Association for the Advancement of Science di musim panas 1860. Sayang sekali, dalam debat yang dimoderatori oleh guru yang paling dikagumi C Darwin ialah Prof John Stevens Henslow, lidah sang Bishop "terpeleset" dengan pertanyaan, "kakek atau neneknya (T Huxley)-kah yang berasal-usul kera?".

Taufikurahman juga mendebat Teori Evolusi Darwin dengan Teori Punctuated Equilibrium Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge yang mereka sendiri sebenarnya tidak menolak Teori Seleksi Alamiah. Taufikurahman salah menafsirkan punctuated equilibrium dan menjadikannya "tidak bunyi".

Stephen Jay Gould dalam artikelnya di Scientific American, Oktober 1994, berjudul "The Evolution of Life on the Earth" mengatakan, "Natural Selection is on immensely powerful yet beautifully simple theory that has held up remarkably well, under intense and unrelenting scrutiny and testing for 135 years".

Lebih lanjut, titik-titik lemah argumentasi C Darwin terhadap Teori Seleksi Alamiah juga dipakai Taufikurahman sebagai landasan menolak teori tersebut. Padahal, self-critic menjadi demikian luar biasa bagi C Darwin merumuskan teorinya yang lain, yaitu seleksi seksual. Dengan bertambah banyaknya data-data molekuler dan paleontologi, keraguan-keraguan terhadap teori Darwinian semakin samar-samar hilang.

Saya menduga Taufikurahman dalam menanggapi Wildan Yatim dipengaruhi (atau barangkali berasal dari) pandangan-pandangan yang terdapat dalam buku karangan Vernon Blackmore dan Andrew Page berjudul Evolution the Great Debate. Jika ini benar, maka sekali lagi, sayang sekali, karena mengenai buku tersebut, sang penulis mengatakan, "This book is not about the rights and wrongs of evolution or creation science… For there is a much more fascinating story to be told: the history of the idea of evolution itself and in its wake the troubled waters of religious argument" (Halaman Pendahuluan).

Menurut saya, pandangan Harun Yahya dan Taufikurahman tentang evolusi biologis tidak bergerak sedikit pun dari pandangan tentang asal-usul kehidupan di Bumi yang dianut C Linnaeus 250 tahun silam yang telah usang itu. Pandangan mereka, seperti yang disitir Wildan, seiras dictum C Linnaeus. "Species tot sunt, quot diversas formas ab initio produxit Infinitum Ens (Spesies yang ada sebanyak yang dihasilkan pada permulaan oleh The Infinite).

Sebenarnya, C Linnaeus pernah "terantuk" dengan data yang seharusnya dapat membuatnya keluar dari pemahaman bahwa spesies bersifat tetap (fixed), yaitu ketika ia berhadapan dengan sampel tumbuhan yang dikirim oleh seorang mahasiswa.

Morfologi tumbuhan tersebut persis sama dengan Linaria vulgaris, kecuali bunganya yang setangkup melingkar (radially symmetrical), disebut peloric. Padahal, Linaria tipe asli (wild type) memiliki bunga yang setangkup bilateral (bilateral symmetry). Kalau mengikuti sistem tata nama yang dikembangkan C Linnaeus, seharusnya tumbuhan tersebut digolongkan sebagai spesies baru. C Linnaeus mencatat kebingungan ini sebagai suatu monstrous flower.

Pembuktian molekuler oleh kelompok Enrico Coen dari John Innes Centre di Norwich, Inggris, dan Theissen G dari Max-Planck Institut di Kohl, Jerman, menegaskan bahwa sebenarnya baik si tumbuhan aneh itu maupun si Linaria vulgaris merupakan tumbuhan yang sama, tetapi si peloric memiliki satu gen yang ekspresinya terbungkam (silenced) karena reaksi metilasi dipermukaan gen LCYC (Nature 401:157-161 dan Bioessays 22:209-13).

Masalah mendasar yang harus ditolak dari cara berpikir Taufikurahman ialah bahwa dasar penolakannya terhadap Teori Evolusi Darwin berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta semua makhluk hidup di dunia. Bukan berarti bahwa saya tidak setuju dengan keyakinan agamawi tersebut, tetapi cara berpikirnya yang menurut saya meloncat ke ranah (domain) nonilmiah (ke keyakinan), membuat keyakinannya itu berada di luar jangkauan teori ilmiah, dan oleh sebab itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula.

Hal inilah yang menimbulkan ketidaksetangkupan argumentasi antara Taufikurahman dan Wildan Yatim. Wildan mencoba mengatakan teori Darwin tentang proses evolusi sebagai teori ilmiah. Ia menunjuk kepada metode induktif Darwin yang berangkat dari fakta-fakta dan observasi-observasi yang dibuatnya sendiri, dan merampatkannya ke dalam argumen-argumen Teori Seleksi Alamiah yang termuat di dalam The Origin: "As many more individuals are produced than can possibly survive, there must in every case be a struggle for existence…"

Apakah Taufikurahman harus diyakinkan lebih faktual lagi oleh paleontologis lokal di Sangiran dekat Solo atau oleh para paleontologis sekaliber Prof Teuku Jakob bahwa tidak mungkin memperoleh fosil Homo Erectus pada formasi Kalibeng, yaitu formasi paling bawah dari kubah (dome) Sangiran? Homo Erectus, dengan jumlah yang ditemukan telah mencapai hampir 80, semuanya hanya ditemukan pada formasi yang lebih di atasnya, yaitu formasi Pucangan, suatu formasi yang terbentuk 700.000- 1.800.000 tahun silam di kala Pleistosen, dan formasi kubah yang berumur lebih muda, yaitu 125.000-700.000 tahun silam.

Jadi pertanyaan bernada menantang "Ada Bantahan terhadap Teori Evolusi Darwin?" bukanlah pertanyaan teologisfilosofis, tetapi suatu pertanyaan ilmiah yang harus dijawab secara ilmiah pula. Kesalahan kebanyakan orang, termasuk Bishop Oxford Samuel Wilberforce dan Taufikurahman, adalah menafsirkan Teori Seleksi Alamiah di luar ranah ilmiah, yang kebenarannya tentu berada di luar jangkauan kebenaran yang dibatasi oleh cara ia diperoleh!

Sebaliknya, terdapat ganjalan yang harus diluruskan dari jalan berpikir Wildan Yatim. Pada awal perbincangannya, Wildan merujuk kepada persoalan mekanisme evolusi. Namun, kemudian ia menghantam Yahya dan Taufikurahman dengan suguhan evolusi sebagai fakta-fakta. Bukankah fakta-fakta yang sama itu telah ada semasa C Linnaeus? Tetapi mengapa C Linnaeus masih menganut faham penciptaan?

Lebih lanjut, Wildan Yatim tidak secara jernih menggagas Teori Evolusi Molekuler sebagai bagian dari proses penjernihan Teori Evolusi Darwin. Ia bahkan terlalu menyederhanakan keragaman genetika sebagai akibat dari transposon-transposon.

Mutasi imbasan (induced mutation) juga berlangsung dalam proses ekspansi nukleotida-nukleotida berulang (repeated DNA). Hasil-hasil penelitian terakhir bahkan membeberkan jembatan-jembatan interaktif antara lingkungan dan bahan genetika melalui epigenetika, yang menurut saya merupakan wilayah yang harus menjadi ajang utama (selain mutasi DNA dan mutasi kromosomal secara langsung) dalam pembentukan variabilitas hayati.

Kelemahan lain Wildan Yatim terletak pada kebersikukuhan argumentasinya kepada tesis-tesis yang terlalu berkutat pada Darwinisme klasik: muncul dan hilangnya suatu keragaman hayati pada aras gen-gen, gamet, organisme individual, atau pada aras yang lebih tinggi, sebagai akibat dari perjuangan hidup.

Kalau kita ingin melihat Teori Evolusi Darwin sebagaimana yang dipahami saat sekarang, kita seharusnya tidak melupakan kerja keras zoologis Ernst Mayr dan Julian Huxley, paleontologis George Gaylord Simpson, ahli tumbuhan George Ledyard Stebbins, ahli genetika Sewall Wright, ahli matematika RA Fisher, dan JBS Haldane, serta ahli genetika Theodosius Dobzhansky, yang berhasil menyimpulkan Teori Seleksi Alamiah C Darwin dengan Teori Penurunan Sifat G Mendel ke dalam Teori Sintetik tentang evolusi pada tahun 1920-an hingga 1930-an.

Teori Sintetik melihat bahwa evolusi merupakan akibat pembentukan variasi-variasi baru dan penggantian variasi lama dengan variasi yang baru.

Kedua tahapan ini digerakkan oleh paling tidak enam hal berikut. Pertama, proses-proses yang menghasilkan variasi atau proses-proses mutasional.

Kedua, proses-proses yang mempersempit ruang gerak dari jenis variasi yang dihasilkan.

Ketiga, proses-proses yang mengubah frekuensi dari setiap variasi-variasi sebagai suatu fenomena populasi.

Keempat, proses-proses adaptif, yaitu proses-proses yang meningkatkan kemampuan varian-varian beradaptasi dengan lingkungan.

Kelima, proses-proses yang menentukan kecepatan evolusi tanpa perlu harus membuat pembedaan di dalam suatu populasi.

Keenam, proses-proses yang menentukan arah perubahan tanpa harus membuat pembedaan di dalam populasi.

Tantangan yang cukup keras terhadap Teori Seleksi Alamiah datang dari hasil penelitian Motto Kimura, Tomoko Ohta, JL King, dan TH Jukes yang memunculkan Teori Netral tentang Evolusi (Neutral Theory of Evolution).

C Darwin mengatakan, "Natural Selection is daily and hourly scrutinizing, throughout the world, the slightest variations; rejecting those that are bad, preserving and adding-up all that are good; silently and insensibly working, whenever and wherever opportunity offers, at the improvement of each organic being in relation to its organic and inorganic conditions of life" (C Darwin, The Origin Of Species, hal 99).

Kalau proses evolusi berlangsung seperti yang dirumuskan C Darwin tersebut, seharusnya terdapat hubungan yang sangat berarti antara variasi molekuler di tingkat DNA dan perubahan fenotipik. Namun, ternyata terdapat selang (gap) antara penampilan morfologi dengan mutasi-mutasi di tingkat urutan asam nukleat.

Mereka menemukan pada tingkat molekuler bahwa eliminasi selektif dari mutan-mutan yang dengan pasti bersifat negatif terhadap pembawanya dan fiksasi acak mutan-mutan yang bersifat netral secara selektif atau yang bersifat sedikit merugikan dari pembawanya terjadi jauh lebih sering di dalam evolusi ketimbang seleksi positif Darwinian dari mutan-mutan yang telah diketahui menguntungkan (Kimura dan Ohta, 1974: Proc. Nat. Acad. Sci. USA: 2848-2852). Kimura dan Ohta juga menemukan bahwa kecepatan evolusi asam amino fungsional pada suatu protein memiliki kecepatan yang konstan dan bersifat khas untuk tiap organisme.

Teori Netral tentang Evolusi tidak mengklaim bahwa seleksi alamiah tidak berlangsung, namun teori ini menunjukkan bahwa seleksi alamiah bukanlah satu-satunya gaya yang bekerja di dalam mekanisme evolusi. Ada gaya-gaya penting lain yang bekerja bersama-sama mengarahkan proses evolusi biologis.

Dengan demikian, walaupun seleksi alamiah berlangsung sebagai pemain yang tak terelakkan di panggung sejarah evolusi hayati, alam masih membiarkan adanya ruang bagi beroperasinya kegirangan, kesukaan hidup, dan tentunya kreativitas, seperti yang dikatakan ahli Fisika cum-biologiwan Erwin Schrodinger dalam bukunya, What is Life, demikian: "An organism must have a comparatively gross structure in order to enjoy the benefit of fairly accurate laws, both for its internal life and for its interplay with the external world".

Kepada Taufikurahman, saya ingin ingatkan bahwa kesempatan untuk mengambil bagian dalam arus perubahan yang dihasilkan oleh sains akan menjadi sulit dilalui apabila bangsa kita dengan sengaja menempatkan dengan sengaja rintangan-rintangan ke jalan yang akan kita lalui sebagai bangsa-termasuk memasung keilmiahan pelajaran Biologi di SMP atau SMA, apalagi di universitas. Jika panggung sejarah telah menyaksikan hegemoni Barat terhadap peradaban dunia, hal ini akibat dari satu faktor utama: sains!

Ferry F Karwur Dosen Pascasarjana Biologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Sumber: Kompas Cyber Media

Kimia dan Fotografi Hitam Putih

MESKIPUN film warna sudah menjadi bagian keseharian dalam dunia fotografi, namun era film hitam putih belum akan menjadi film langka yang perlu dilindungi. Dokumen-dokumen penting seperti rapor, ijazah, paspor, masih mensyaratkan penggunaan film hitam putih. Apalagi di daerah, film hitam putih masih banyak digunakan untuk KTP, SIM, dan sebagainya. Hal itu dimungkinkan karena proses pencetakannya yang relatif sederhana, bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Murah lagi! Membandingkan dengan kamera digital yang tanpa film dan tanpa proses cuci cetak, jelas kurang afdal.

Menyelusuri foto hitam putih, kita harus berterima kasih kepada para bapak bangsa Indonesia yang sejak awal abad ke-20 ini telah mengantarkan sampai Indonesia merdeka. Mereka mengimpikan, bagaimana sejarah bangsa Indonesia dapat diabadikan dan dikenang kembali ribuan tahun kemudian. Tentu kita akan sangat kecewa kalau apa yang diimpikan ternyata hanya dalam bilangan bulan, foto-foto perjuangan dan bersejarah masa lalu dan masa kini, mudah berubah menjadi kuning dan buram.

Pada proses cuci dan cetak film hitam putih, ternyata ada reaksi yang pernah/sedang kita pelajari, yakni reaksi oksidasi dan reduksi. Bagaimanakah reaksi tersebut terjadi?

Film hitam putih maupun kertas foto mengandung partikel-partikel perak bromida, AgBr yang tersebar pada lapisan tipis film/kertas foto. Apabila film/kertas foto terkena cahaya, akan terjadi reaksi :

AgBr Æ AgBr*

Tanda * menyatakan AgBr tereksitasi oleh cahaya. Apabila film yang telah digunakan dan terkena cahaya tersebut dicuci dalam larutan pengembang (developer), akan terjadi reaksi :

2 AgBr *(s) + C6H6O2 (aq)

Æ 2 Ag(s) + 2 HBr (aq) + C6H4O2 (a)

Cairan pengembang C6H6O2 dalam bahasa kerennya disebut hidrokuinon, dalam hal ini bertindak sebagai zat pereduksi. Jadi dalam reaksi itu terjadi proses reaksi redoks.

Oksidasi :

C6H6O2 (aq) Æ C6H4O2 (aq) + 2 H+ + 2 e-

Reduksi:

2 Ag+ + 2 e - Æ 2 Ag (s)

Di samping hidrokuinon, dalam larutan pengembang perlu ditambahkan metol (N-metil-p-aminofenol sulfat). Metol berfungsi sebagai zat superaditif, yang efeknya tidak dapat digantikan dengan memberikan jumlah yang berlebih pada hidrokuinon yang sudah ada. Metol ini bertindak sebagai zat pereduksi juga. Aktivitas hidrokuinon dapat dipacu dengan menambahkan sedikit phenidone (1-phenyl-3-pyrazolidinone). Karena larutan pengembang/developer ini bekerja efektif pada lingkungan basa, maka kita perlu mencampurkan larutan potasium karbonat (atau sodium karbonat) sebagai aktivator untuk memperoleh lingkungan basa dengan pH pH 9,5 - 10,5; larutan sodium sulfit, sebagai pengawet dan potasium bromida sebagai restainer.



Cara kerja cetak film hitam putih

Film dipasang di bawah enlarger, lalu cahaya 100 watt dinyalakan. Akan tampak bayangan film itu di atas kertas. Kalau bayangan itu sudah tepat, matikan lampu dan ganti kertas dengan kertas cetak foto. Nyalakan kembali lampu selama sekian detik. Kertas foto kemudian dicelupkan pada larutan pengembang selama beberapa menit. Angkat, kemudian ganti celupkan ke dalam larutan stop batch untuk menghentikan reaksi.

Selanjutnya kertas foto itu dicelupkan pada larutan fixer, lalu kertas foto dibilas dengan air mengalir. Jadilah sebuah foto yang indah, yang kualitasnya bergantung pada lama pencahayaan, jauh dekatnya film dengan kertas foto, waktu pencelupan, kualitas kertas foto, usia pakai cairan, pembilasan, dan sebagainya, termasuk keterampilan operatornya.



Proses penetralan

Setelah film dicelupkan pada larutan pengembang, maka tahap berikutnya adalah tahap penghentian reaksi sekaligus menetralkan sifat basa yang berasal dari larutan pengembang. Caranya dengan mencelupkan kertas/film pada larutan asam asetat yang telah diberi larutan sodium sulfat untuk mencegah adanya efek swelling. pH larutan dijaga pada kondisi 4 - 5,5.



Proses fiksasi

Proses fiksasi ini menggunakan cairan yang disebut fixer (sodium tiosulfat), bertujuan melarutkan perak bromida yang tidak tereduksi menjadi perak (kalau tidak dihilangkan, jika kertas foto terkena cahaya, akan timbul bayangan hitam tambahan. Pada proses ini terjadi reaksi :

AgBr + 3 Na2S2O3

Æ Ag(S2O3)3 5- + 6 Na+ + Br-



Proses pembilasan

Tahap akhir setelah fixing adalah pembilasan dengan guyuran air mengalir supaya terbentuk bayangan yang permanen. Proses pembilasan ini bertujuan membuang kompleks perak tiosulfat dan ion tiosulfat. Jika ion tiosulfat masih tertinggal pada film/kertas foto, maka zat ini akan bereaksi dengan perak yang sudah terbentuk foto/gambar, sehingga bayangan foto akan menjadi kecoklatan/kekuningan karena akan terbentuk noda-noda perak sulfida. Jadi pembilasan dengan air yang mengalir itu sangat perlu supaya kualitas foto/gambar menjadi prima.

S2O32- + 2 Ag0 Æ SO32- + Ag2S

Tentu saja masih banyak keterampilan yang menunjang agar proses cuci cetak film hitam putih menjadi lebih indah, apalagi bila ditunjang dengan pengetahuan kimia untuk meramu zat pengembang/developer yang cocok dan mengontrol proses-proses yang terjadi.



(Markus G Subiyakto, alumnus Jurusan Kimia FMIPA UI )

Sumber: Kompas Cyber Media



Membuat sendiri larutan pengembang :
(Komposisi Standar)



Hidrokuinon : 88 gram

Metol : 72 gram

Sodium sulfit : 587 gram

Sodium karbonat : 587 gram

Potasium bromida : 44 gram



Zat-zat ini berupa bubuk, harga per kg saat ini (satu dollar AS = Rp 10.800) di Jakarta adalah Hidrokuinon (Rp 48.000); Metol (Rp 300.000); potasium bromida (Rp 60.000); dan yang lainnya murah.

Polusi Memicu Perilaku Aneh pada Binatang

Ikan hiperaktif, katak-katak tolol, tikus yang tak kenal takut, dan camar yang tiba-tiba jatuh saat terbang, terdengar seperti hewan-hewan sirkus yang aneh. Namun ini bukan pertunjukan. Banyak hewan di dunia memiliki perilaku ganjil akibat polusi lingkungan.

Bahan-bahan kimia yang menjadi biang keladi keanehan ini dikenal sebagai disruptor (pengganggu) endokrin. Disruptor ini bervariasi mulai dari logam-logam berat seperti timbal hingga polychlorinated biphenyls (PCB) dan zat-zat aditif seperti bisphenol A.

Selama beberapa dekade, ahli-ahli biologi sebenarnya telah mengetahui bahwa bahan-bahan kimia ini bisa mempengaruhi perilaku hewan. Dan akhir-akhir ini semakin jelas bahwa polusi bisa menyebabkan efek pembelokan gender dengan mempengaruhi fisik hewan, terutama organ seksual mereka.

Namun kini dua penelitian telah menemukan bahwa bahan-bahan kimia beracun ternyata memiliki efek yang lebih besar terhadap perilaku hewan dibanding perkiraan semula. Konsentrasi rendah bahan-bahan polutan itu mengubah perilaku sosial dan perilaku kawin beberapa spesies. Hal ini berpotensi menimbulkan ancaman lebih besar terhadap kelangsungan jenis itu dibanding, misalnya, menurunnya jumlah sperma akibat konsentrasi bahan kimia tinggi.



Perilaku ganjil

Ada dua tim riset yang secara independen mengumpulkan bukti-bukti mengenai efek polutan terhadap bangau dan camar, siput, burung puyuh, tikus dan monyet, ikan-ikan, elang, serta kodok. Perilaku yang diamati antara lain perilaku kawin dan membesarkan anak, membuat sarang, belajar, menghindari pemangsa, mencari makan, dan lainnya.

Dalam satu penelitian, dimana burung-burung jalak jantan terpengaruh insektisida, terlihat adanya penurunan kemampuan berkicau, terbang dan mencari makan hingga 50 persen. Sedangkan sejenis salamander yang terkena pestisida endosulfan berkadar rendah menjadi sulit membaui pheromon yang dikeluarkan pasangannya, sehingga tidak terjadi perkawinan.

Ditemukan juga bahwa burung-burung camar jantan yang menetas dari telur tercemar DDT mengalami perilaku aneh dimana mereka berusaha mengawini sesama pejantan. Sedangkan timbal akan mempengaruhi keseimbangan terbang camar-camar itu, sementara atrazine membuat ikan koki menjadi hiperaktif dan TCDD menjadikan monyet-monyet makin kasar dalam bermain.

Walau sudah banyak bukti diperoleh, namun efek ini ternyata tidak begitu diperhatikan oleh para toksikolog yang pakar di bidang racun, kata Ethan Clotfelter dari Amherst College di Massachusetts, pimpinan salah satu tim, seperti ditulis dalam journal Animal Behaviour, Agustus 2004.

Bukan hanya gagal mengetahui besarnya masalah yang disebabkan disruptor endokrin, para toksikolog mungkin juga lupa bahwa perubahan perilaku hewan bisa menjadi pertanda betapa bebrapa bahan kimia sebenarnya berbahaya. "Kita bisa saja melihat perubahan perilaku dan menganggapnya biasa saja, lalu tiba-tiba kita sadar populasi jenis ini telah terancam karenanya," kata Clotfelter.



Dosis yang merusak

Hal serupa diungkapkan Dustin Penn dan Sarah Zala dari Institut Konrad Lorenz bagian Comparative Ethology di Akademi Ilmu Pengetahuan Austria di Vienna. Mereka mempublikasikan penelitian kedua mengenai efek disruptor endokrin di journal yang sama. "Hal yang patut disadari adalah bahwa masalah ini telah meluas," kata Penn.

Kedua kelompok peneliti menghimbau agar para ahli biologi sadar disruptor endokrin merupakan sumber perilaku aneh pada binatang. Disebutkan pula bahwa konsentrasi polutan yang berbeda bisa menimbulkan akibat berlainan.

Tikus jantan yang terekspos pestisida dalam dosis rendah misalnya, akan lebih sering menandai wilayahnya dengan bau-bauan, namun bila dosis pestisida ditingkatkan, tikus menjadi kehilangan perilaku itu sama sekali.

"Bahan polutan yang dianggap aman ketika diuji coba dalam dosis sedang, bisa jadi memiliki efek merusak justru pada dosis yang lebih rendah," kata Penn dan Zala dalam tulisannya. "Dan kebanyakan, resiko juga muncul dalam dosis tinggi."

Oleh sebab itu, mereka menyarankan agar efek polutan pada perilaku hewan seharusnya diberi prioritas tinggi. "Telah makin disadari perilaku hewan adalah indikasi penting untuk menentukan apakah suatu bahan kimia aman, baik dalam dosis rendah maupun tinggi, suatu hal yang sebelumnya kita abaikan." (newscientist.com/wsn)

Kimia dan Fisika Kantong Udara

Kantong udara ternyata tidak seperti balon udara biasa. Ada reaksi yang bekerja di dalamnya. Ini dia kantong yang penting untuk meminimalkan risiko kecelakaan.

Kecelakaan di jalan raya sering menelan banyak nyawa. Kebanyakan karena faktor manusia. Namun, ada juga yang disebabkan oleh faktor peralatan pada kendaraan. Melengkapi peralatan standar mobil setidaknya bisa mengurangi risiko tinggi. Di mobil kita sabuk pengaman dan kantong udara adalah pengaman-pengaman yang wajib ada.

Sudahkah kita selalu kenakan? Sudahkah kita tahu cara kerjanya? Paparan di bawah ini mengajak teman-teman untuk memahami kimia dan fisika di balik kantong udara.



Hukum Newton dan pengamanan

Tentu kita sudah paham betul hukum Newton I yang intinya suatu benda akan cenderung tetap pada kecepatan yang sama (yang diam akan tetap diam, yang bergerak dengan kecepatan tertentu akan tetap bergerak dengan kecepatan itu), kecuali ada gaya luar yang mempengaruhi.

Nah, saat terjadi tabrakan, hukum ini jelas berlaku. Saat sebelum terjadi tabrakan, orang yang ada di kendaraan bergerak dengan kecepatan tertentu-akibat mobilnya bergerak. Sesaat setelah tabrakan terjadi, orang tadi tentu akan bertabrakan dengan bagian mobil di hadapannya, bagi sopir tentu setirnya, dan akhirnya berhenti bergerak. Jadi, pasti ada gaya yang bekerja pada orang itu.

Kecelakaan parah terjadi bila kendaraan bertabrakan saat kecepatan tinggi karena perubahan kecepatan besar yang berarti gaya yang bekerja pada orang besar.

Untuk meminimalkan cedera akibat tumbukan itu, kantong udara dan sabuk pengaman digunakan. Kantong udara melakukannya dengan memberikan bantalan untuk menurunkan besarnya gaya yang bekerja pada korban dan mendistribusikan gaya itu pada permukaan yang lebih luas. Bantalan tadi dihasilkan dengan menggembungkan kantong udara dengan gas N2. Kemudian, ketika orang menumbuk kantong udara yang berisi gas tadi, perlahan gas keluar dari kantong.

Mengapa perlu dibuat gas dari kantong keluar perlahan-lahan? Seperti dibahas tadi, gaya bekerja pada orang dalam kendaraan yang tabrakan. Dari hukum Newton II, gaya sebanding dengan percepatan, yakni perubahan kecepatan per satuan waktu. Nah, kalau perubahan kecepatan (dari bergerak hingga diam) terjadi dalam waktu yang singkat, percepatan besar sekali. Dengan demikian, gaya juga besar sekali, cedera akan parah. Sebaliknya, bila perubahan kecepatan bisa dibuat untuk jangka waktu yang lebih lama, percepatan tidak terlalu besar, gaya yang bekerja tidak terlalu besar, harapannya cederanya tidak parah atau selamat.

Selain itu, kantong udara meminimalkan cedera dengan mendistribusikan gaya itu pada permukaan yang lebih luas. Bila tubuh bertabrakan langsung dengan setir, semua gaya akan bekerja hanya pada bagian tubuh seukuran setir (Gambar 1a), cedera yang serius dapat terjadi. Namun, bila tubuh bertubrukan dengan kantong udara yang telah menggembung, gaya akan bekerja pada permukaan yang lebih luas (Gambar 1b), gaya yang bekerja pada bagian tertentu tubuh menjadi lebih kecil dan cederanya pun menjadi lebih ringan atau terbebas sama sekali.



Bahan utama di kantong udara

Kantong udara di mobil menggunakan padatan yang menghasilkan gas. Kebanyakan kantong udara menggunakan natrium azida, Na3. Dalam kecelakaan mobil, sensor tabrakan akan mengaktifkan rangkaian yang akan menyebabkan natrium azida terbakar dan terurai (terdekomposisi) menghasilkan natrium dan gas nitrogen, yang dengan cepat dapat menggembungkan kantong udaranya (Gambar 2).

Walaupun komposisi persisnya merupakan rahasia perusahaan, campuran yang paling populer adalah campuran yang terdiri atasnatrium azida (Na3), kalium nitrat (KNO3), dan silikon dioksida (SiO2) sebagai reaktan sekunder. Dengan rangsangan listrik NaN3 akan terurai sesuai reaksi:

2 NaN3 (s) - 2 Na (s) + 3N2 (g)

Logam natrium (Na), produk samping produksi gas nitrogen yang menggembungkan kantong udara itu, adalah logam yang sangat reaktif. Seperti barangkali pernah ditunjukkan oleh guru di sekolah, sebutir kecil natrium yang dijatuhkan ke air akan menghasilkan api yang cukup hebat. Untuk itulah kalium nitrat ditambahkan, kalium nitrat dan natrium akan bereaksi menghasilkan lagi gas nitrogen:

10 Na (s) + 2 KNO3 (s) - K2O (s) + 5 Na2O (s) + N2 (g).

Kalium oksida (K2O) dan natrium oksida (Na2O) akan bereaksi dengan senyawa ketiga dalam komposisi kantong udara, yakni silikon dioksida (SiO2), untuk membentuk alkali silikat, atau gelas, zat yang tidak reaktif dan tidak berbahaya bila dibuang.

Natrium azida dalam dosis kecil pun merupakan racun. Senyawa ini dengan mudah akan diserap melalui kulit dan paru-paru, dapat menimbulkan ketidaknormalan kardiovaskular, dan dengan pemaparan (exposure) untuk waktu yang lama dapat menimbulkan kematian. Walaupun jumlah azida yang digunakan cukup kecil, kalau kita dapat mengganti bahan ini dengan bahan yang lebih aman tentu lebih baik. Ini sampai sekarang masih merupakan tantangan yang harus dijawab.

ISMUNANDAR Dosen di Departemen Kimia FMIPA ITB
Sumber: Kompas Cyber Media

Kimia dan Fisika Kantong Udara

Kantong udara ternyata tidak seperti balon udara biasa. Ada reaksi yang bekerja di dalamnya. Ini dia kantong yang penting untuk meminimalkan risiko kecelakaan.

Kecelakaan di jalan raya sering menelan banyak nyawa. Kebanyakan karena faktor manusia. Namun, ada juga yang disebabkan oleh faktor peralatan pada kendaraan. Melengkapi peralatan standar mobil setidaknya bisa mengurangi risiko tinggi. Di mobil kita sabuk pengaman dan kantong udara adalah pengaman-pengaman yang wajib ada.

Sudahkah kita selalu kenakan? Sudahkah kita tahu cara kerjanya? Paparan di bawah ini mengajak teman-teman untuk memahami kimia dan fisika di balik kantong udara.



Hukum Newton dan pengamanan

Tentu kita sudah paham betul hukum Newton I yang intinya suatu benda akan cenderung tetap pada kecepatan yang sama (yang diam akan tetap diam, yang bergerak dengan kecepatan tertentu akan tetap bergerak dengan kecepatan itu), kecuali ada gaya luar yang mempengaruhi.

Nah, saat terjadi tabrakan, hukum ini jelas berlaku. Saat sebelum terjadi tabrakan, orang yang ada di kendaraan bergerak dengan kecepatan tertentu-akibat mobilnya bergerak. Sesaat setelah tabrakan terjadi, orang tadi tentu akan bertabrakan dengan bagian mobil di hadapannya, bagi sopir tentu setirnya, dan akhirnya berhenti bergerak. Jadi, pasti ada gaya yang bekerja pada orang itu.

Kecelakaan parah terjadi bila kendaraan bertabrakan saat kecepatan tinggi karena perubahan kecepatan besar yang berarti gaya yang bekerja pada orang besar.

Untuk meminimalkan cedera akibat tumbukan itu, kantong udara dan sabuk pengaman digunakan. Kantong udara melakukannya dengan memberikan bantalan untuk menurunkan besarnya gaya yang bekerja pada korban dan mendistribusikan gaya itu pada permukaan yang lebih luas. Bantalan tadi dihasilkan dengan menggembungkan kantong udara dengan gas N2. Kemudian, ketika orang menumbuk kantong udara yang berisi gas tadi, perlahan gas keluar dari kantong.

Mengapa perlu dibuat gas dari kantong keluar perlahan-lahan? Seperti dibahas tadi, gaya bekerja pada orang dalam kendaraan yang tabrakan. Dari hukum Newton II, gaya sebanding dengan percepatan, yakni perubahan kecepatan per satuan waktu. Nah, kalau perubahan kecepatan (dari bergerak hingga diam) terjadi dalam waktu yang singkat, percepatan besar sekali. Dengan demikian, gaya juga besar sekali, cedera akan parah. Sebaliknya, bila perubahan kecepatan bisa dibuat untuk jangka waktu yang lebih lama, percepatan tidak terlalu besar, gaya yang bekerja tidak terlalu besar, harapannya cederanya tidak parah atau selamat.

Selain itu, kantong udara meminimalkan cedera dengan mendistribusikan gaya itu pada permukaan yang lebih luas. Bila tubuh bertabrakan langsung dengan setir, semua gaya akan bekerja hanya pada bagian tubuh seukuran setir (Gambar 1a), cedera yang serius dapat terjadi. Namun, bila tubuh bertubrukan dengan kantong udara yang telah menggembung, gaya akan bekerja pada permukaan yang lebih luas (Gambar 1b), gaya yang bekerja pada bagian tertentu tubuh menjadi lebih kecil dan cederanya pun menjadi lebih ringan atau terbebas sama sekali.



Bahan utama di kantong udara

Kantong udara di mobil menggunakan padatan yang menghasilkan gas. Kebanyakan kantong udara menggunakan natrium azida, Na3. Dalam kecelakaan mobil, sensor tabrakan akan mengaktifkan rangkaian yang akan menyebabkan natrium azida terbakar dan terurai (terdekomposisi) menghasilkan natrium dan gas nitrogen, yang dengan cepat dapat menggembungkan kantong udaranya (Gambar 2).

Walaupun komposisi persisnya merupakan rahasia perusahaan, campuran yang paling populer adalah campuran yang terdiri atasnatrium azida (Na3), kalium nitrat (KNO3), dan silikon dioksida (SiO2) sebagai reaktan sekunder. Dengan rangsangan listrik NaN3 akan terurai sesuai reaksi:

2 NaN3 (s) - 2 Na (s) + 3N2 (g)

Logam natrium (Na), produk samping produksi gas nitrogen yang menggembungkan kantong udara itu, adalah logam yang sangat reaktif. Seperti barangkali pernah ditunjukkan oleh guru di sekolah, sebutir kecil natrium yang dijatuhkan ke air akan menghasilkan api yang cukup hebat. Untuk itulah kalium nitrat ditambahkan, kalium nitrat dan natrium akan bereaksi menghasilkan lagi gas nitrogen:

10 Na (s) + 2 KNO3 (s) - K2O (s) + 5 Na2O (s) + N2 (g).

Kalium oksida (K2O) dan natrium oksida (Na2O) akan bereaksi dengan senyawa ketiga dalam komposisi kantong udara, yakni silikon dioksida (SiO2), untuk membentuk alkali silikat, atau gelas, zat yang tidak reaktif dan tidak berbahaya bila dibuang.

Natrium azida dalam dosis kecil pun merupakan racun. Senyawa ini dengan mudah akan diserap melalui kulit dan paru-paru, dapat menimbulkan ketidaknormalan kardiovaskular, dan dengan pemaparan (exposure) untuk waktu yang lama dapat menimbulkan kematian. Walaupun jumlah azida yang digunakan cukup kecil, kalau kita dapat mengganti bahan ini dengan bahan yang lebih aman tentu lebih baik. Ini sampai sekarang masih merupakan tantangan yang harus dijawab.

ISMUNANDAR Dosen di Departemen Kimia FMIPA ITB
Sumber: Kompas Cyber Media

Misteri Bilangan Nol

RATUSAN tahun yang lalu, manusia hanya mengenal 9 lambang bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0, sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Tidak diketahui siapa pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan bahwa bilangan 0 ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu bilangan nol hanya sebagai lambang.Dalam zaman modern, angka nol digunakan tidak saja sebagai lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam operasi matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam sendi kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu membuat kekacauan logika. Mari kita lihat.



Nol, penyebab komputer macet

Pelajaran tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu sampai sekarang selalu menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu mewakili sesuatu yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung? Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada. Mungkinkah 5*0 menjadi tidak ada? (* adalah perkalian). Ide ini membuat orang frustrasi. Apakah nol ahli sulap?

Lebih parah lagi-tentu menambah bingung-mengapa 5+0=5 dan 5*0=5 juga? Memang demikian aturannya, karena nol dalam perkalian merupakan bilangan identitas yang sama dengan 1. Jadi 5*0=5*1. Tetapi, benar juga bahwa 5*0=0. Waw. Bagaimana dengan 5o=1, tetapi 50o=1 juga? Ya, sudahlah. Aturan lain tentang nol yang juga misterius adalah bahwa suatu bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol.



Bilangan nol: tunawisma

Bilangan disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis lurus (Gambar 1a). Pada titik awal adalah bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali. Bukankah dunia ini bulat? Mungkinkah? Bukankah Columbus mengatakan bahwa kalau ia berlayar terus-menerus ia akan sampai kembali ke Eropa?

Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3. Tetapi, yang lebih aneh adalah pertanyaan mungkinkan seseorang bisa berangkat dari titik nol? Jelas tidak bisa, karena bukankah titik nol sesuatu titik yang tidak ada? Aneh dan sulit dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh.

Perhatikan garis bilangan (Gambar 1a), di antara dua bilangan atau antara dua buah titik terdapat sebuah ruas. Setiap bilangan mempunyai sebuah ruas. Jika ruas ini dipotong-potong kemudian titik lingkaran hitam dipindahkan ke tengah-tengah ruas (Gambar 1b), ternyata bilangan 0 tidak mempunyai ruas. Jadi, bilangan nol berada di awang-awang. Bilangan nol tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Itulah sebabnya, mengapa bilangan nol harus menempel pada bilangan lain, misalnya, pada angka 1 membentuk bilangan 10, 100, 109, 10.403 dan sebagainya. Jadi, seseorang tidak pernah bisa berangkat dari angka nol menuju angka 4. Kita harus berangkat dari angka 1.



Mudah, tetapi salah

Guru meminta Ani menggambarkan sebuah garis geometrik dari persamaan 3x+7y = 25. Ani berpikir bahwa untuk mendapatkan garis itu diperlukan dua buah titik dari ujung ke ujung. Tetapi, setelah berhitung-hitung, ternyata cuma ada satu titik yang dilewati garis itu, yakni titik A(6, 1), untuk x=6 dan y=1 (Gambar 2). Sehingga Ani tidak bisa membuat garis itu. Sang guru mengingatkan supaya menggunakan bilangan nol. Ya, itulah jalan keluarnya. Pertama, berikan y=0 diperoleh x=(25-0)/3=8 (dibulatkan), merupakan titik pertama, B(8,0). Selanjutnya berikan x=0 diperoleh y=(25-3.0)/7=4 (dibulatkan), merupakan titik kedua C(0,4). Garis BC, adalah garis yang dicari. Namun, betapa kecewanya sang guru, karena garis itu tidak melalui titik A. Jadi, garis BC itu salah.

Ani membela diri bahwa kesalahan itu sangat kecil dan bisa diabaikan. Guru menyatakan bahwa bukan kecil besarnya kesalahan, tetapi manakah yang benar? Bukankah garis BC itu dapat dibuat melalui titik A? Kata guru, gunakan bilangan nol dengan cara yang benar. Bagaimana kita harus membantu Ani membuat garis yang benar itu? Mudah, kata konsultan Matematika. Mula-mula nilai 25 dalam 3x+7y harus diganti dengan hasil perkalian 3 dan 7 sehingga diperoleh 3x+7y=21.

Selanjutnya, dalam persamaan yang baru, berikan y=0 diperoleh x=21/3=7 (tanpa pembulatan) itulah titik pertama P(6,1). Kemudian berikan nilai x=0 diperoleh y=21/7 = 3 (tanpa pembulatan), itulah titik kedua Q(0, 3). Garis PQ adalah garis yang sejajar dengan garis yang dicari, yakni 3x+7y=25. Melalui titik A tarik garis sejajar dengan PQ diperoleh garis P1Q1. Nah, begitulah. Sang murid telah menemukan garis yang benar berkat bantuan bilangan nol.

Akan tetapi, sang guru masih sangat kecewa karena sebenarnya tidak ada satu garis pun yang benar. Bukankah dalam persamaan 3x1+7x2=25 hanya ada satu titik penyelesaian yakni titik A, yang berarti persamaan 3x1+7x2 itu hanya berbentuk sebuah titik? Bahkan pada persamaan 3x1+7x2=21 tidak ada sebuah titik pun yang berada dalam garis PQ. Oleh karena itu, garis PQ dalam sistem bilangan bulat, sebenarnya tidak ada. Aneh, bilangan nol telah menipu kita. Begitulah kenyataannya, sebuah persamaan tidak selalu berbentuk sebuah garis.



Bergerak, tetapi diam

Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil? Padahal, nol mewakili sesuatu yang tidak ada? Waw. Begitulah.

Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan pada Gambar 1a tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat, bisakah? Berapakah bilangan desimal terdekat sebelum sampai ke bilangan 2? Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ..., 0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa melompat ke bilangan 2?



Yusmichad Yusdja,Staf peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan ekonomi Pertanian IPB
Sumber: Kompas Cyber Media

Ekonofisika, Ilmu Fisika untuk Bersaing di Pasar Saham

EKONOFISIKA merupakan bidang penelitian baru di dalam fisika yang memanfaatkan hukum-hukum serta teori-teori fisika untuk mempelajari dinamika perkembangan sektor-sektor ekonomi. Saking barunya, Physical Review, jurnal fisika ternama di Amerika, mula-mula enggan untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian di bidang ini. Baru beberapa tahun yang lalu Physical Review berangsur-angsur berubah pikiran setelah melihat gencarnya publikasi ekonofisika oleh beberapa jurnal fisika lain di Eropa. Bahkan, istilah ekonofisika sendiri belum terlalu baku karena sebagian komunitas ilmiah masih sering menyebut bidang ini sebagai phynance (singkatan dari physics of finance). Namun, istilah ekonofisika terlihat lebih konsisten digunakan jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang beririsan dengan fisika seperti biofisika, geofisika, astrofisika, atau yang sama sekali tidak berhubungan seperti metafisika.Banyak hal yang membuat fisikawan tertarik pada bidang ini dan merasa tertantang untuk berkiprah, antara lain adalah melimpahnya data kuantitatif di pelbagai sektor ekonomi (dengan frekuensi tinggi) yang nyaris hanya dianalisis dengan statistik konvensional. Perkembangan-perkembangan terbaru di dalam fisika (terutama fisika statistik) serta dukungan teknologi komputer yang semakin canggih telah membantu menghasilkan mekanisme baru untuk menganalisis data tersebut.

Masuknya doktor-doktor fisika ke pasar saham seperti Wall Street serta institusi-institusi finansial lainnya seperti Goldman Sachs, Merrill Lynch atau- pun perusahaan-perusahaan asuransi, juga bagaikan roket pendorong bagi kemajuan bidang ini. Betapa tidak, dengan penghasilan per tahun sebesar 100.000 dollar AS untuk pemula dan dapat mencapai setengah juta dollar untuk mereka yang sudah mulai profesional, bidang ini tampak lebih menjanjikan ketimbang harus bersaing dengan ratusan jenius fisika untuk memperebutkan satu dari beberapa gelintir posisi di universitas atau laboratorium penelitian. Namun, bagaimana sebenarnya dua bidang yang sangat berjauhan ini dapat berkolaborasi?

Sejarah menunjukkan bahwa interes di bidang ini sudah dimulai sekitar seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1900 ketika seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Sorborne Paris, Louis Bachelier, menulis tesis doktornya dengan judul Teori Spekulasi. Di dalam tesis tersebut, Bachelier mengajukan model matematik bagi proses penyusunan data yang menggunakan metode stikastik dari keuntungan, laba.

Model Bachelier menggunakan teori gerak Brown, gerak acak partikel di dalam fluida, yang menjelaskan kinerja saham dan memperlihatkan distribusi keuntungan yang berbentuk Gaussian (bentuk seperti lonceng). Meski penelitian-penelitian dewasa ini memperlihatkan penyimpangan yang sangat berarti terhadap model tersebut, ide Bachelier tetap terus digunakan dan bahkan merupakan asumsi dasar dari teori Black-Scholes (suatu model matematis untuk option-pricing yang dikembangkan oleh Fischer Black dan Myron Scholes pada tahun 1973).

Lebih dari 60 tahun kemudian, Benoit Mandelbrot, seorang ahli geometri fractal, melakukan penelitian terhadap harta karun yang diperjualbelikan saat itu dan menemukan fakta menarik yaitu distribusi keuntungan untuk skala waktu yang berbeda memperlihatkan kemiripan atau bentuk yang universal. Penemuan ini menjadi salah satu topik penelitian yang kini gencar-gencarnya dilakukan di Amerika Serikat untuk memprediksi perkembangan harga-harga saham.

Dibandingkan dengan data yang digunakan oleh Mandelbrot saat itu (hanya sekitar 2.000 data) jumlah data yang tersedia saat ini sangat berlimpah. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok Universitas Boston dan Institut Teknologi Massachussetts (MIT), misalnya, menggunakan sekitar 40 juta rekaman data harga saham yang diambil untuk selang waktu lima menit dari sekitar 1.000 jenis saham teratas di Amerika. Jumlah ini merupakan angka fantastis yang menjadi daya tarik bagi fisikawan, namun belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah jenis DNA yang telah diteliti dengan teknik yang sama yang mencapai sekitar tiga milyar. Saat ini para ahli biologi telah mengetahui bahwa dari seluruh DNA yang diamati hanya tiga persen saja yang memiliki arti, sisanya sering disebut sebagai junk DNA atau non-coding DNA. Fisikawan dari Universitas Boston menggunakan teknik yang sama untuk mencari sifat-sifat fenomenologis dari junk DNA tersebut.



Fisikawan yang berkecimpung di bidang ekonofisika berharap dapat melokalisasi dan menjelaskan malapetaka ekonomi seperti yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987 yang sering disebut black Monday, pada saat terjadi penurunan drastis dari saham-saham unggulan di Amerika Serikat.

Bahkan, menurut Eugene Stanley, seorang profesor fisika pada Universitas Boston, hasil-hasil penelitian di bidang ini diharapkan dapat menghindarkan kita dari bencana akibat krisis-krisis moneter seperti yang melanda Indonesia beberapa tahun silam, yang merupakan salah satu contoh fluktuasi dari perkembangan ekonomi. Lebih lanjut, menurutnya, justru fluktuasi tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi fisikawan untuk turut aktif di bidang ekonomi, karena fenomena fluktuasi sendiri sering dijumpai di dalam fisika.

Di dalam fisika zat padat, istilah fenomena kritis bukan lagi barang baru. Contohnya, sepotong bahan magnet akan berkurang daya magnetisasinya jika temperaturnya ditingkatkan. Jika temperatur terus ditingkatkan, daya magnetisasinya akan hilang pada satu titik tertentu dan, yang paling penting, pada titik tersebut daya magnetisasi akan turun secara drastis menuju harga nol untuk peningkatan temperatur yang kecil sekali.

Fenomena kritis terjadi karena konstituen-konstituen dari sistem memberikan respons secara kooperatif terhadap gangguan yang kecil sekalipun. Di negara kita, fenomena kritis hampir melanda semua sektor ekonomi pada saat krisis moneter. Contoh yang paling mudah adalah turunnya harga saham saat itu akibat hampir semua pemegang saham secara bersamaan ingin menjual saham yang mereka miliki, atau hampir bangkrutnya BCA akibat semua nasabah secara kooperatif menarik tabungan dan deposito mereka. Studi tentang fenomena kritis ini sudah sangat intensif di bidang fisika zat padat, masalahnya sekarang adalah bagaimana mengaplikasikan teknik-teknik yang sudah dikembangkan tersebut untuk menyelidiki fluktuasi perkembangan ekonomi.

Sedikitnya ada dua pendekatan yang dipakai untuk mempelajari fluktuasi atau dinamika perkembangan sektor-sektor ekonomi, yaitu analisis data dan model ekonofisika. Analisis data dapat juga disebut model fisika statistik karena menggunakan teknik-teknik statistik di dalam fisika. Tentu saja para ekonom sudah tidak asing lagi dengan statistik, namun statistik di dalam fisika memiliki keunikan tersendiri karena metodenya telah dikembangkan lebih dari seratus tahun dan dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam. Metode yang kedua memanfaatkan model-model fisika yang telah teruji kesuksesannya dan memiliki banyak aplikasi di dunia sains dan teknologi.



Analisis data

Di dalam ilmu fisika, metode statistik (lebih tepat disebut fisika statistik) akan digunakan jika kita berhadapan dengan masalah interaksi antarsub-unit dengan jumlah sangat besar, sementara interaksi individual antarsub-unit itu sendiri sangat sulit untuk dijelaskan. Dengan demikian, metode ini memberikan prediksi sifat kolektif dari kumpulan sub-unit. Kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan pada metode ini menyangkut keabsahan penggunaan metode fisika pada masalah-masalah sosial yang dikatakan memiliki jumlah sub-unit sangat terbatas.

Di dalam termodinamika, di mana fisika statistik sangat sukses untuk menjelaskan fenomena alam, jumlah sub-unit yang dibahas umumnya dapat mencapai angka sepuluh pangkat dua puluh (ada dua puluh angka nol setelah angka satu). Meski demikian, simulasi-simulasi komputer untuk gas dan zat cair sudah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan untuk sistem yang terdiri dari 20 hingga 30 atom saja, yang menunjukkan bahwa metode ini sudah dapat bekerja untuk sistem-sistem kecil.

Kritik lain adalah menyangkut perbedaan antara manusia dan sistem partikel (elektron, nukleon, atom, atau molekul) yang dibahas fisika statistik, karena manusia dikatakan memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi-fluktuasi ekonomi, sedangkan kumpulan partikel akan terus patuh mengikuti hukum alam jika terjadi fluktuasi pada keadaan di sekitarnya. Kritik ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena penelitian dengan metode fisika statistik ternyata cukup sukses jika diterapkan pada masalah non-coding DNA, inflasi paru-paru manusia, interval denyut jantung, bahkan pada masalah perkembangan kota dan beberapa sifat hewan, yang tentu saja memiliki daya adaptasi tersendiri untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dengan lingkungannya.

Saat ini, analisis data di dalam ekonofisika kebanyakan dipusatkan pada indeks S&P 500, salah satu indeks pada bursa saham di New York yang terdiri dari 500 perusahaan terkemuka yang dianggap sebagai representasi dari ekonomi Amerika. Data yang dianalisis biasanya berjangka waktu lebih dari 10 tahun dengan frekuensi sampel hingga satu menit. Data lain yang dipakai adalah harga-harga saham di berbagai negara, harga tukar dollar AS terhadap beberapa jenis mata uang, dan bahkan GDP tiap-tiap negara. Secara umum data-data tersebut memperlihatkan tendensi kenaikan dengan fluktuasi tajam berfrekuensi tinggi di beberapa titik.

Dari data-data tersebut banyak hal yang dapat diselidiki. Pertama, dan mungkin yang paling intensif, adalah sifat time-scaling. Lebih dari 30 tahun yang lalu Mandelbrot menemukan bahwa distribusi keuntungan penjualan katun untuk selang waktu yang berbeda memperlihatkan bentuk fungsi yang mirip. Sifat ini dinamakan para peneliti sebagai sifat time-scaling. Time-scaling ternyata juga ditunjukkan oleh indeks S&P 500 setelah diteliti untuk frekuensi sampel antara satu menit hingga satu bulan. Sampai sekarang, sifat ini dipercaya merupakan fenomena universal dari sistem-sistem kompleks, dengan sektor ekonomi merupakan salah satu elemennya. Untuk memperkuat dugaan ini para peneliti juga mempelajari indeks saham-saham lain seperti indeks NIKKEI dan Hang Seng. Fenomena yang sama juga teramati untuk kedua jenis indeks saham tersebut.

Aspek lain yang cukup menarik untuk diteliti adalah volatility. Volatility menunjukkan peluang suatu saham untuk berfluktuasi yang dapat dihubungkan dengan jumlah informasi masuk setiap saat. Volatility dapat diperkirakan misalnya dari harga absolut keuntungan rata-rata. Secara umum hasil-hasil penelitian ekonofisika memperlihatkan bahwa distribusi kumulatif volatility menunjukkan sifat asimptotik power-law. Dari sekitar 16.000 saham di Amerika yang diamati, kelompok Universitas Boston, MIT, dan Universitas Chicago menemukan analogi antara volatility saham dengan proses difusi klasik dari penyebaran tumpahan tinta yang ditentukan oleh dua kuantitas mikroskopik yaitu frekuensi tumbukan antarpartikel (yang dalam hal ini analog dengan saham) dan dampak dari tumbukan tersebut. Meski demikian, analogi tersebut tidak benar-benar eksak karena pergerakan harga saham bersifat difusi kompleks.

Korelasi silang antarsaham juga merupakan bagian menarik dari analisis data. Tidak diragukan lagi jika dua perusahaan di dunia ini saling berkorelasi. Bahkan, dua perusahaan dari sektor yang berbeda sekalipun dapat berkorelasi melalui korelasi tidak langsung. Mungkinkah kita meneliti korelasi ratusan atau ribuan saham dari sektor yang berbeda, sedangkan interaksi antara dua saham sendiri tidak dapat sepenuhnya dijelaskan?



Jawabannya telah diberikan oleh Wigner, seorang ahli fisika nuklir (inti atom), pada tahun 1950. Saat itu para ahli nuklir sedang kebingungan ketika dihadapkan dengan melimpahnya data spektrum energi dari nukleus-nukleus kompleks, karena tidak ada satu pun model yang dapat menjelaskan data-data tersebut.

Wigner memecahkan masalah ini dengan menganggap bahwa interaksi antarnukleon (penyusun inti atom) sudah sangat kompleks dan tidak dapat dimengerti lagi sehingga dapat diangggap bersifat acak (random). Di dalam teori fisika interaksi dalam suatu sistem dinyatakan dengan operator Hamiltonian. Wigner kemudian mengusulkan bahwa Hamiltonian yang menjelaskan sistem nukleus kompleks berbentuk matriks dengan elemen-elemennya merupakan bilangan-bilangan acak independen. Dengan cara ini Wigner akhirnya sukses menjelaskan spektrum-spektrum energi yang teramati oleh eksperimen nuklir saat itu.

Kesulitan utama dalam menguantisasi korelasi antarsaham dikarenakan oleh tidak adanya algoritma yang pasti untuk menghitung kekuatan interaksi antarperusahaan. Tidak seperti di dalam dunia fisika, di sini interaksi alami yang akurat tidak pernah diketahui. Lagi pula, korelasi di bidang finansial biasanya melibatkan satu cluster perusahaan dan selalu berubah terhadap waktu sehingga hanya korelasi rata-rata yang dapat diperkirakan.

Teori matriks acak (TMA) dari Wigner memperkirakan nilai rata-rata dari semua interaksi yang mungkin. Dengan demikian, penyimpangan terhadap prediksi TMA menandakan adanya sifat-sifat tidak acak di dalam sistem yang pada akhirnya memberi petunjuk tentang interaksi sebenarnya. Dengan kata lain, deviasi tersebut menggambarkan sifat-sifat kolektif yang dimiliki sistem. Penelitian yang dilakukan oleh grup Boston terhadap sekitar 1.000 saham di Amerika menunjukkan gejala-gejala kolektif tersebut.

Hal ini berarti bahwa secara global hampir setiap perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan-perusahaan lain, yang secara bersama-sama bergerak kolektif menentukan maju mundurnya pasar saham.



Model ekonofisika

Model-model ekonomi juga bukan benda asing bagi para ekonom. Di sini, beberapa peneliti ekonofisika berusaha mengembangkan model-model sistem ekonomi dengan memanfaatkan pengetahuan yang ada di dalam dunia fisika selain fisika statistik. Salah satu dari sekian banyak kegiatan di sektor ini adalah upaya memperbaiki dan memecahkan persamaan Black-Scholes dengan tambahan-tambahan informasi yang diperlukan.

Para akademisi, termasuk peraih Nobel ekonomi Paul Samuelson, berusaha keras memperbaiki model tersebut. Dengan bantuan Robert Merton, pada tahun 1973 Fischer Black dan Myron Scholes menghadirkan formula option pricing dalam bentuk persamaan diferensial yang dapat membantu para pialang saham menentukan apakah sebuah option terlalu mahal atau sebaliknya terlalu murah relatif terhadap harga saham pada saat itu. Patut dicatat bahwa Fischer Black memiliki latar belakang fisika dan matematika sedangkan Robert Merton memperoleh gelar master pada bidang matematika terapan. Merton dan Scholes akhirnya dianugerahi hadiah Nobel ekonomi untuk kontribusi mereka dalam bidang finansial pada tahun 1997.

Option merupakan produk derivat dalam ekonomi dan menyatakan hak seseorang (namun bukan kewajiban) untuk membeli saham atau aset lainnya dengan harga tertentu sebelum atau pada saat yang telah dijadwalkan. Ada banyak option yang dikenal di pasar finansial, namun contoh yang paling sederhana adalah jenis call-option.

Pada call-option, misalnya, kita harus membayar sebesar Rp 10 saat ini guna mendapatkan hak untuk membeli saham (yang saat ini berharga Rp 90) seharga Rp 100 enam bulan lagi. Jika harga saham tersebut dalam enam bulan meningkat menjadi Rp 120 kita dapat langsung menjualnya dengan keuntungan Rp 10 setelah dikurangi biaya option, yang berarti kita memperoleh keuntungan sebesar 100 persen. Bandingkan dengan jika kita membeli saham tersebut seharga Rp 90 kemudian menjualnya dengan harga Rp 120 yang setara dengan keuntungan 30 persen saja. Namun, jika harga saham tersebut dalam enam bulan tidak lebih dari Rp 100 kita kehilangan Rp 10 biaya option tadi.

Option memunculkan dua pertanyaan mendasar yaitu berapa harga yang pantas untuk dikeluarkan oleh pembeli option serta strategi apa yang harus dipasang oleh penulis option berkaitan dengan jumlah saham yang harus ia beli atau jual selama kontrak option berlangsung guna meminimalkan risiko kerugian. Kedua pertanyaan tersebut diakomodir oleh formula Black-Scholes sehingga formula tersebut bertindak seperti lingua franca bagi semua pemain di pasar saham.

Para pialang saham di Wall Street saat itu sangat menyukai formula Black-Scholes karena sangat mudah untuk diprogram ke dalam sebuah kalkulator. Malangnya, rumus tersebut juga dibangun atas dasar yang tidak realistik karena formula Black-Scholes memiliki input laju pertumbuhan bunga (interest) konstan serta mengasumsikan distribusi perubahan harga saham yang berbentuk Gaussian.



Salah seorang dari sekian banyak fisikawan yang berkecimpung di bidang ini adalah Emanuel Derman, kepala bagian strategi kuantitatif pada Goldman Sachs. Setelah mendapatkan doktor fisika untuk interaksi lemah partikel dari Universitas Columbia pada tahun 1973, Derman melanjutkan riset pasca doktoralnya di Universitas Pensylvania dan Universitas Oxford dengan topik riset produksi quark. Namun, pada tahun 1980 ia memutuskan untuk keluar dari fisika dan bekerja sama dengan Fischer Black di Goldman Sachs. Derman mengaku bahwa ia tidak terlalu berprestasi di dalam fisika meski ia sangat mencintai fisika. Tugas utama Derman di Goldman Sachs adalah memperbaiki persamaan asli Black-Scholes dengan memasukkan aspek-aspek yang dapat memperhitungkan crash pada bursa saham.

Di Universitas Birmingham Inggris, fisikawan Kirill Ilinski menggunakan teori elektrodinamika kuantum Feynman untuk mendesain model dinamika pasar saham. Bahkan, dengan konsep kuantum tersebut ia mengklaim dapat menurunkan persamaan Black-Scholes. Untuk melompat dari dunia kuantum ke pasar saham Ilinski mengganti medan elektromagnetik yang mengatur interaksi antarpartikel bermuatan dengan medan arbitrage yang menjelaskan perubahan harga option serta saham sebagai fungsi waktu. Meski tidak semua orang setuju jika dinamika ekonomi dapat sepenuhnya diparalelkan dengan dunia fisika, Ilinski yakin dapat menjelaskan fluktuasi-fluktuasi yang terjadi di dunia ekonomi.

Tidak jauh dari kita, fisikawan di Universitas Nasional Singapura Belal Baaquie menggunakan manipulasi matematika untuk mengubah persamaan Black-Scholes menjadi persamaan yang mirip dengan persamaan diferensial Schroedinger yang merupakan persamaan dasar di dalam mekanika kuantum nonrelativistik. Hampir semua fisikawan memiliki keahlian dalam memecahkan persamaan Schroedinger untuk bermacam-macam potensial interaksi (antarkonstituen di dalam sistem).

Salah satu teknik yang dipelajari oleh beberapa peneliti (termasuk Baaquie) adalah dengan memanfaatkan metode integral lintasan yang dikembangkan oleh Richard Feynman pada tahun 1940-an untuk menghitung peluang transisi suatu sistem dari satu titik ke titik lain dengan cara menjumlahkan semua lintasan yang mungkin. Teknik integral lintasan sangat menguntungkan jika solusi analitik dari persamaan diferensial sulit untuk ditemukan. Semakin kompleksnya pasar saham serta derivatnya seperti option membuat persamaan Black-Scholes yang sudah dimodifikasi dan sarat dengan informasi menjadi semakin rumit dan semakin sulit untuk dicari solusinya. Teknik integral lintasan ternyata sangat membantu dalam hal ini.

Di Belgia, fisikawan Marcel Ausloss dari Universitas Liege menyelidiki hipotesis kesetimbangan di dalam pasar dengan menggunakan persamaan Boltzmann, suatu persamaan yang dikenal dalam teori kinetik gas untuk menghitung evolusi kerapatan peluang sebagai fungsi waktu. Ausloos menggunakan persamaan tersebut untuk menurunkan teori kinetik bagi harga saham. Dengan menggunakan teori tersebut ia menunjukkan bahwa hipotesis tradisional untuk equilibrium market mengandung distribusi Gaussian yang tidak realistik. Menurutnya, model tersebut masih harus disempurnakan dengan memasukkan pertimbangan faktor difusi, viskositas, serta kuantitas-kuantitas mekanika fluida lainnya ke dalam model.

Berbagai model lain juga dikembangkan, misalnya teknik diagram Feynman, salah satu teknik yang dikembangkan oleh Feynman untuk menghitung peluang interaksi pada proses reaksi tumbukan antara dua partikel juga dipelajari kemungkinannya untuk menjelaskan peluang-peluang interaksi di dalam ekonomi. Proses-proses lain seperti reaksi-difusi serta pembakaran (combustion) juga tak luput menjadi objek penelitian para ekonofisikawan.



Kelemahan fisikawan

Harus diakui bahwa meskipun persamaan Black-Scholes dapat dengan mudah diprogram ke dalam sebuah kalkulator, matematika yang mendasari persamaan tersebut adalah kalkulus stokastik, satu cabang matematika yang jelas bukan merupakan mata kuliah standar pada program MBA. Fisikawan di sini dihargai karena memiliki kemampuan matematika dan komputasi yang dapat bersaing serta kemampuan untuk menganalisis problem-problem sistem yang luar biasa kompleks.

Namun, bukan berarti fisikawan tidak menghadapi masalah begitu memasuki dunia bisnis. Misalnya, banyak institusi finansial yang mempekerjakan fisikawan kadang-kadang malah khawatir. Mereka berharap agar karyawan yang satu ini tidak berpikir bahwa pasar saham dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tidak pernah berubah. Uranium 238 selalu meluruh menjadi uranium 234, namun fisikawan harus sadar bahwa pasar dapat bergerak naik ataupun turun, kata mereka. Pasar berbeda dengan matematika karena tidak ada model matematika yang mampu mengakomodasi semua faktor yang dapat menimbulkan gejolak pada pasar.

Bahkan beberapa institusi finansial mengeluhkan kerugian akibat penggunaan model yang tidak tepat. Menurut perhitungan Capital Market Advisors, kerugian akibat model sendiri mencakup hingga 40 persen dari kerugian total senilai 2,65 milyar dollar AS yang hilang pada tahun 1997, termasuk di antaranya adalah kerugian yang diderita oleh Union Bank di Swiss sebesar 240 juta dollar AS.



Di Indonesia

Tentu saja penelitian ekonofisika akan luar biasa menarik jika dapat dilakukan di Indonesia, karena fluktuasi ekonomi yang terjadi sangat sering dan bahkan cenderung bersifat dramatis. Seiring dengan menguatnya rupiah serta indeks saham IHSG setelah krisis moneter peluang untuk mengembangkan bidang penelitian ini cukup cerah. Lagi pula, bidang ini masih tergolong baru sehingga kesempatan kita untuk berperan di dalam komunitas berskala internasional masih terbuka lebar. Belum ada teori dasar yang kokoh seperti teori klasik Newton atau teori kuantum Schroedinger dan Dirac yang harus dipatuhi di bidang ini. Apalagi Indonesia termasuk negara yang paling sering disebut-sebut dalam jurnal ekonofisika meski belum ada orang Indonesia yang masuk ke dalam komunitas ilmiah tersebut.

Melihat realitasnya, bukan hanya harga saham yang menarik untuk diteliti di Indonesia, masih banyak aspek ekonomi lain yang cukup unik dan hanya terjadi di Indonesia, misalnya fluktuasi kurs rupiah terhadap dollar Amerika, laju inflasi rupiah, distribusi kredit untuk pengusaha kecil, rentannya sektor real estat di negara ini, atau ukuran serta proses perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia, yang tentu saja sangat berbeda dengan kasus negara-negara maju.

Kesulitan pertama yang mungkin akan dihadapi adalah kesediaan serta akurasi data yang dapat diperoleh. Bidang statistik dari ekonofisika memerlukan jumlah data yang cukup banyak dan akurat, misalnya penelitian yang dilakukan oleh grup Boston untuk mempelajari volatility saham menggunakan data dari sekitar 16.000 saham yang direkam selama 35 tahun, mulai tahun 1962 hingga tahun 1996.

Dukungan dana untuk penelitian bidang ini mungkin juga akan dipertanyakan. Namun, jika kendala-kendala tersebut dapat diatasi, penelitian di bidang ini dapat kembali menggairahkan penelitian-penelitian di departemen fisika di universitas-universitas kita, karena sudah bukan merupakan rahasia lagi kalau dosen-dosen fisika tidak terlalu "makmur" dibandingkan dengan kolega-koleganya, sedangkan minat siswa-siswa SMU untuk memilih jurusan fisika relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan jurusan lain karena image fisika yang sulit dan sulit pula mencari pekerjaan, meski kedua hal terakhir ini sudah sering sekali dibuktikan tidak benar!

Terry Mart Staf pengajar dan peneliti pada jurusan Fisika FMIPA UI serta visiting researcher pada Center for Nuclear Studies, Department of Physics, George Washington University, Washington DC, USA.

Sumber: Kompas Cyber Media
Sumber: Kompas Cyber Media

Matematika Antariksa

PENELITIAN tentang fenomena-fenomena yang terjadi di atmosfer Matahari, ruang antarplanet, hingga atmosfer Bumi tidak bisa dipisahkan dari peranan matematika. Berbagai persamaan matematis perlu dibangun guna mengkaji sifat-sifat maupun menirukan prosesnya melalui simulasi komputer.

BUMI diselubungi lapisan atmosfer, ionosfer, dan paling luar adalah ruang angkasa atau antariksa. Ini berarti fenomena yang terjadi di antariksa, misalnya bersumber dari Matahari dan mengarah ke Bumi, bisa memberikan dampak bagi lingkungan Bumi.

Karena itu, ilmu pengetahuan tentang antariksa harus dikuasai oleh para peneliti, dalam arti bukan hanya pada tahap identifikasi masalah, tetapi juga harus dapat dikembangkan lebih komprehensif berlandaskan pengetahuan teori dan memerhatikan hasil-hasil observasi seoptimal mungkin.

Perlu disadari bahwa pengembangan ilmu antariksa pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari ilmu-ilmu dasar, seperti matematika, fisika, kimia, dan astrofisika (gabungan ilmu astronomi dan fisika). Salah satu bagian dari matematika yang sangat berperan dalam ilmu antariksa adalah pemodelan matematika.

Sementara itu, kemampuan untuk melakukan prakiraan (forecast) suatu kejadian di Matahari yang muncul secara stokastik (acak tetapi memiliki pola tertentu terhadap waktu) harus didasari pada model matematika yang diturunkan dari fenomena riil tersebut. Hal yang serupa juga berlaku bila akan memprediksi nilai-nilai besaran fisis di ionosfer dan magnetosfer secara numerik.

Selain itu, model matematika yang diturunkan dari suatu fenomena juga dapat memberikan gambaran mengenai perilaku fenomena secara matematis. Salah satu aplikasinya adalah untuk memberikan nilai-nilai kondisi awal (initial condition) untuk keperluan simulasi magneto-hydrodynamics (MHD) fenomena itu.

Menurut penelitian seorang pakar MHD dari Observatorium Matahari Watukosek, Dr Bambang Setiahadi, ternyata teori dan simulasi MHD mampu melacak secara self-consistent (mengikuti kaidah-kaidah dalam matematika) beberapa peristiwa yang terjadi di ruang Matahari-Bumi. Antara lain, pemanasan loop medan magnet di korona (loop brightening), pembentukan struktur medan magnet berbentuk kuncup bunga matahari (helmet-streamer), pelontaran massa korona (coronal mass ejection) dan interaksi angin Matahari dengan medan magnet Bumi (pembentukan bow-shock).



Fenomena fisis

Dalam setiap fenomena fisis, biasanya terdapat berbagai besaran yang saling berinteraksi satu sama lain menurut aturan tertentu, atau tepatnya dikendalikan oleh hukum-hukum fisika. Demikian juga dalam fenomena fisis antariksa, terdapat besaran-besaran fisis seperti kerapatan plasma, temperatur, kuat medan magnet, medan tekanan skalar, kecepatan plasma, dan sebagainya.

Sebagai contoh, salah satu fenomena fisis di ionosfer adalah gerak naik-turun lapisan ionosfer secara periodik karena pengaruh gravitasi Bulan. Fenomena ini dikenal dengan sebutan pasang surut (tidal) ionosfer. Contoh lain fenomena fisis, misalnya di Matahari, adalah peristiwa pelontaran sejumlah massa yang sangat besar di korona Matahari disertai tiupan angin Matahari berkecepatan tinggi di ruang antarplanet. Fenomena ini dikenal sebagai "badai Matahari" (solar storm).

Pada fenomena itu berlaku hukum-hukum fisika, antara lain hukum kekekalan momentum, hukum kekekalan massa, hukum kekekalan energi, dan sebagainya.

Hukum-hukum tersebut memunculkan persamaan-persamaan fisika, seperti persamaan gerak Euler, persamaan momentum, persamaan kontinuitas, dan persamaan energi. Bila kuat medan magnet sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap proses fisis tersebut, kumpulan persamaan ini dinamakan persamaan hydrodynamics (HD). Sebaliknya, bila medan magnet turut berperan (tidak dapat diabaikan), persamaan itu dinamakan persamaan MHD.

Meski demikian, studi mengenai fenomena fisis antariksa tersebut masih terasa sangat kompleks. Jadi, dalam praktiknya, perlu dilakukan penyederhanaan masalah dengan memberikan asumsi-asumsi tertentu, misalnya meniadakan pengaruh gravitasi.



Model matematika

Pembentukan model matematika adalah proses penerjemahan model fisis suatu fenomena ke dalam bentuk matematika. Proses ini dengan cara memadamkan besaran-besaran yang terlibat dalam fenomena fisis dengan besaran-besaran matematika. Besaran-besaran matematika tersebut ditulis menggunakan simbol-simbol matematika. Dan, hukum-hukum fisika yang berlaku pada fenomena itu diungkapkan dengan bahasa matematika (persamaan-persamaan).

Bahasa matematika itu melibatkan beberapa konsep dalam matematika, antara lain, fungsi, diferensial, integral, dan kalkulus vektor. Selain itu juga konsep tentang tensor, topologi diferensial, persamaan diferensial, diferensial geometri, dan sebagainya. Konsep matematika tersebut selalu dapat dimengerti karena mempunyai berbagai interpretasi fisis.

Jika model matematika berbentuk persamaan diferensial, maka masalahnya adalah bagaimana menentukan solusi (penyelesaian) persamaan diferensial itu. Namun, harus disadari bahwa tidak semua model matematika yang berbentuk persamaan diferensial mempunyai solusi analitis, terutama bila mengkaji persamaan diferensial persial karena ini melibatkan beberapa variabel (peubah). Oleh karena itu, penentuan solusi melalui pendekatan secara numerik (komputasi) terhadap masalah tersebut sering dilakukan sejak penemuan komputer.

Salah satu metode pendekatan untuk menyelesaikan masalah numerik dalam bidang analisis fungsional yang melibatkan hubungan antarparameter-parameter fisis adalah metode elemen hingga (finite element).

Penerapan metode elemen hingga dewasa ini antara lain dalam proyek rekayasa antariksa, yaitu konstruksi model pesawat antariksa, stasiun antariksa, dan sebagainya. Penerapan metode ini umumnya dilatarbelakangi oleh model matematika yang berbentuk persamaan diferensial parsial.

Sesungguhnya, yang ingin diketahui tidak hanya bentuk solusi persamaan-persamaan diferensial tersebut, tetapi yang lebih penting adalah perilaku solusi itu terhadap perubahan besaran fisis tertentu. Untuk memperoleh penyelesaian kualitatif ini hanya diperlukan teori, metode, dan teknik matematika. Pada akhirnya, diperlukan pemahaman konsep matematika secara mendalam dan benar agar peneliti, khususnya di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), ataupun menginterpretasikan informasi matematika dalam upaya mengungkap berbagai misteri fenomena antariksa.

John Maspupu Peneliti Lapan dan Anggota Tim Penelitian Matahari Watukosek

Sumber: Kompas Cyber Media

”Meramal” Masa Depan dengan Matematika

MATEMATIKA? Bidang studi yang satu ini hingga kini masih dianggap hantu yang menakutkan bagi anak-anak, bahkan orang dewasa sekalipun, kendati tanpa alasan yang jelas. Kondisi ini diperparah dengan sosok guru yang tidak bersahabat dengan mereka. Maka tidaklah berlebihan manakala ujian tiba hasilnya kurang memuaskan jika kita tidak mau mengatakan gagal total.

Di lain pihak, matematika dianggap bidang studi yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup. Matematika adalah dasar segala dasar untuk memudahkan belajar bidang studi lain. Memang demikian keadaannya, seseorang yang telah menguasai matematika akan mudah mempelajari hal lainnya. Akan tetapi selalu saja anak atau peserta didik merasa tidak nyaman.

Melihat gelagat demikian tentunya kita tidak boleh diam, solusi apa yang dapat memberikan angin kesegaran bagi peserta didik. Paling tidak membuat anak-anak kita tetap berkutat dengan bidang studi yang satu ini. Toh dari dulu hingga sekarang belajar adalah "mainan" yang menyenangkan bagi anak-anak. Belajar adalah gula-gula yang setiap saat didambakan. Belajar adalah pengalaman yang menakjubkan bagi semua orang.

Anak akan terus beranggapan demikian, kecuali jika orang dewasa berhasil meyakinkan bahwa belajar adalah racun bagi kehidupan. Tentu ini tidak diinginkan bukan? Yang jelas kondisi ini akan tetap menyenangkan mana kala peserta didik terlibat di dalamnya. Toh belajar bukanlah satu arah, di mana anak harus dicekoki dengan berbagai macam teori atau rumusan. Tetapi belajar adalah permainan yang menggairahkan, belajar adalah saripati kehidupan di mana dan kapan pun berada.

Kita sebagai orang tua tentunya akan sependapat seperti itu. Yang jelas formula apa yang dapat membangkitkan anak-anak kita mampu keranjingan dengan matematika. Toh berbagai macam metode maupun jurus sudah dikerahkan, tetapi tetap saja peserta didik menganggap pelajaran ini penghambat kemajuan.



Meramal masa depan

Belakangan ini penulis sering diminta memberikan formula "jitu" bagaimana caranya menumbuhkembangkan anak-anak agar mencintai matematika. Tentu permintaan ini tidak berlebihan setelah mereka, khususnya orangtua peserta didik merasakan anaknya tidak lagi mengeluh ataupun takut. Malahan mereka hampir setiap melakukan kegiatan dihubung-hubungkan dengan matematika. Salah satunya tatkala penulis memberikan permainan yang mampu membuat mereka berkutat dan tersenyum gembira dengan pelajaran ini.

Yang lebih mengesan lagi laporan dari orang tua, bahwa anak-anak mereka hampir setiap orang yang ada di rumah ataupun yang dikenal dengan pasti akan diramal dengan matematika. Pendek kata, mereka tidak lagi alergi dengan pelajaran yang satu ini.

Ada pun yang penulis sodorkan kepada peserta didik ketika itu dengan memberikan permainan yang diberi judul "Meramal masa depan". Memang bisa kita meramal dengan matematika? Pertanyaan ini sering dilontarkan oleh anak-anak ketika penulis mengawali pelajaran ini. Dengan senyum penulis katakan, kenapa tidak? Tidak percaya, mari kita buktikan apa ramalan yang dimaksud.

Pertama-tama kita membuat tabel seperti di bawah ini:

Setelah membut tabel tersebut barulah kita meramal. Caranya? Misalnya begini, nama penulis Drajat. Kemudian, huruf-hurufnya kita beri nilai sesuai dengan tabel. D=4, R=18, A=1, J=10, A=1, T=20. Selanjutnya, angka itu dijumlahkan secara berurut, 4+18+1+10+1+20= 54. Angka hasil adalah 54 merupakan kunci ramalannya. Kemudian, kita lihat angka 54 ini berada di posisi profesi mana. Ternyata angka 54 menduduki posisi sebagai penulis.

Contoh ramalan lainnya misalkan Nabila Az-Zahra. N=14, A=1, B=2, I=9, L=12, A=1, A=1, Z=26, Z=26, A=1, H=8, R=18, A=1. Jumlahnya, 14+1+2+9+12+1+1+26+26+1+8+18+1=120. Angka 120 menduduki profesi ilmuwan.

Mudah, bukan? Supaya lebih seru lagi dalam permainan ramalan ini kita dapat mempraktikkannya dengan mimik muka yang serius. Perlihatkanlah bahwa kita benar-benar seorang peramal masa depan. Sebagai catatan, jika dalam tabel tersebut hanya sampai bilangan 208, kita dapat meneruskannya sampai tak terhingga. Ini bergantung pada kita, sampai angka berapa yang dikehendaki.

Dari uraian di atas semakin jelaslah bahwa dengan memberikan stimulus semacam begitu ternyata mampu memberikan angin kesegaran, kegembiraan, kenyamanan dan setumpuk motivasi lainnya bagi peserta didik. Tak percaya? Silakan praktikkan pengalaman penulis tersebut.

Sebagai catatan terakhir, penulis yakin masih banyak cara menuju keberhasilan. Sayang bukan, jika bidang studi yang terus digembar-gemborkan ini harus dibiarkan begitu saja. Ya, boleh dibilang matematikaku sayang matematikaku malang. Yang jelas adakah niat baik dari semua pihak untuk kembali bertanggung jawab terhadap anak didik kita? Sekecil apa pun yang kita berikan adalah mutiara terbaik. Insya-Allah, Tuhan akan mencatatnya sebagai amalan yang tidak ada bandingnya. Amin.***

Oleh: Drajat, penggagas petualangan matematika, pengarang buku "Matematika yang Menajubkan" dan salah satu penulis terbaik "Buku Matematika SD" Pusbuk 2003

Sumber: Republika Online

Liber Abaci dan Sistem Angka Arab

Judulnya Liber Abaci. Buku ini demikian terkenal, khususnya di bidang matematika. Penulisnya adalah ahli matematika asal Italia, Leonardo of Pisa -- yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Fibonacci.

Sejarah mencatat, karya yang dibuat tahun 1202 ini merupakan salah satu yang paling fenomenal dan berpengaruh dalam kajian ilmu aritmatika. Di sini, Fibonacci memperkenalkan kepada Eropa metode penghitungan angka Arab yang dia pelajari di Bejaja (Bougie), Afrika Utara. Akan tetapi sesungguhnya Liber Abaci bukanlah buku Barat pertama yang mengungkap tentang ilmu hitung Arab. Namun dengan menekankan pada fungsi praktis untuk bidang perdagangan -- dari sekadar tinjauan akademik -- maka buku itu dapat dengan cepat meyakinkan publik akan pentingnya sebuah sistem baru.

Yang perlu dicatat, dari zaman dahulu hingga awal masa modern, sistem angka Arab hanya digunakan oleh para ahli matematika. Ilmuwan Muslim menggunakan sistem angka Babilonia, serta kalangan pedagang memakai sistem angka Yunani dan juga Yahudi. Namun setelah kemunculan buku Fibonacci, sistem angka dan penghitungan Arab pun dipakai secara luas.

Padahal, Fibonacci hanya menjadi 'penyambung lidah' Mohammad bin Musa al-Khawarizmi, filsuf asal Khawarizm, Iran, yang juga dikenal sebagai ahli matematika, astronomi, dan geografi pada zamannya. Sistem notasi desimal yang dikembangkannya inilah yang digunakan oleh Fibonacci untuk menyususn karya monumentalnya itu.



Setidaknya ada empat bagian penting dalam buku Liber Abaci. Bagian pertama yakni pengenalan sistem angka Arab. Bagian kedua menyajikan contoh-contoh bidang perniagaan, seperti pertukaran mata uang serta penghitungan rugi laba. Bagian ketiga berisi diskusi menyangkut persoalan matematika. Dan bagian terakhir berupa sistem taksiran, baik dari urutan angka maupun geometri. Tak hanya itu, buku ini juga memasukkan metode geometri Euclidea serta persamaan linear simultan.

Angka Arab sudah lama dipergunakan sebagai simbolisasi penomoran atau penghitungan. Sistem ini terdiri dari 10 angka dengan bentuk yang berbeda-beda. Angka yang berada di sisi paling kiri punya nilai paling tinggi. Pada perkembangan selanjutnya, sistem angka Arab ini memakai pula tanda desimal serta tanda pengkalian dua. Al-Khawarizmi lah salah seorang penggagasnya. Dari waktu ke waktu, variasi juga kian bertambah. Pada bentuk yang lebih modern, sistem angka Arab dapat merepresentasi setiap angka rasional dengan 13 tanda (10 digit, tanda desimal, tanda bagi, tanda strip di depan untuk menandakan angka negatif dan sebagainya).

Penting pula dicatat, seperti halnya sistem angka yang lain, angka 1,2 dan 3 ditunjukkan dengan penandaan sederhana. 1 ditandai dengan satu garis, 2 dengan dua garis (sekarang dihubungan dengan diagonal) dan 3 dengan tiga garis (dihubungkan dengan dua garis vertikal). Setelah ketiganya, maka angka berikut memakai simbol yang lebih kompleks. Para ahli memperkirakan, hal ini dikarenakan semakin sulit untuk menghitung objek lebih dari tiga.

Secara keseluruhan, sistem angka Arab terbagi atas dua kelompok angka yakni sistem angka Arab Barat (west Arabic numerals) dan sistem angka Arab Timur (east Arabic numerals). Sistem angka Arab Timur banyak dipergunakan di wilayah negara Irak -- dalam tabel dicantumkam pada Arabic-Indic. Arab-Indic Timur merupakan variasi lebih lanjut dari angka Arab Timur. Sementara angka Arab Barat dipakai di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Maghribi -- contoh angka dalam tabel pada bagian Eropa.



Di negara Jepang, angka Arab dan angka Romawi keduanya dipakai pada sistem yang bernama romaji. Jadi, jika nomor ditulis dalam angka Arab, mereka mengatakan "ini ditulis dengan romaji" (tidak sama dengan angka Jepang). Itu kemudian diterjemahkan sebagai 'karakter Romawi' sehingga agak membingungkan bagi mereka yang mengenal angka Romawi.

Sistem angka Arab diakui sebagai salah satu paling berpengaruh pada bidang matematika. Para ahli sejarah sepakat bahwa angka tersebut berawal dari India. Terlebih setelah orang Arab sendiri menyebut angka yang mereka gunakan sebagai 'angka India' atau arqam hindiyyah. Itu kemudian ditransfomasikan di dunia Islam sebelum tersebar melalui Afrika Utara, Spanyol, dan akhirnya sampai ke Eropa.

Bukti sejarah mengemukakan angka 0 sudah dipergunakan pula di India sejak tahun 400 masehi. Kode angka Aryabhata telah menerangkan secara lengkap mengenai simbol angka 0. Juga pada masa pemerintahan Bhaskara I (abad 7 masehi) dasar sistem 10 angka sudah dipergunakan secara luas di negara tersebut serta pengenalan konsep angka 0.

Sistem angka tersebut sampai ke Timur Tengah pada tahun 670. Ketika itu para ahli matematika Muslim yang banyak berkiprah di Irak, semisal al-Khawarizmi, sudah mengenal sistem angka Babilonia yang juga memakai 0 digit, hingga pengenalan sistem dari India tersebut tidak perlu memakan waktu terlalu lama. Lantas pada abad 10, ilmuwan Arab meningkatkan sistem angka desimal berikut pecahan, seperti tercatat dalam karya Abu'l-Hasan al-Uqlidisi tahun 952-953.

( yus/berbagai sumber )
Sumber: Republika Online

Liber Abaci dan Sistem Angka Arab

Judulnya Liber Abaci. Buku ini demikian terkenal, khususnya di bidang matematika. Penulisnya adalah ahli matematika asal Italia, Leonardo of Pisa -- yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Fibonacci.

Sejarah mencatat, karya yang dibuat tahun 1202 ini merupakan salah satu yang paling fenomenal dan berpengaruh dalam kajian ilmu aritmatika. Di sini, Fibonacci memperkenalkan kepada Eropa metode penghitungan angka Arab yang dia pelajari di Bejaja (Bougie), Afrika Utara. Akan tetapi sesungguhnya Liber Abaci bukanlah buku Barat pertama yang mengungkap tentang ilmu hitung Arab. Namun dengan menekankan pada fungsi praktis untuk bidang perdagangan -- dari sekadar tinjauan akademik -- maka buku itu dapat dengan cepat meyakinkan publik akan pentingnya sebuah sistem baru.

Yang perlu dicatat, dari zaman dahulu hingga awal masa modern, sistem angka Arab hanya digunakan oleh para ahli matematika. Ilmuwan Muslim menggunakan sistem angka Babilonia, serta kalangan pedagang memakai sistem angka Yunani dan juga Yahudi. Namun setelah kemunculan buku Fibonacci, sistem angka dan penghitungan Arab pun dipakai secara luas.

Padahal, Fibonacci hanya menjadi 'penyambung lidah' Mohammad bin Musa al-Khawarizmi, filsuf asal Khawarizm, Iran, yang juga dikenal sebagai ahli matematika, astronomi, dan geografi pada zamannya. Sistem notasi desimal yang dikembangkannya inilah yang digunakan oleh Fibonacci untuk menyususn karya monumentalnya itu.



Setidaknya ada empat bagian penting dalam buku Liber Abaci. Bagian pertama yakni pengenalan sistem angka Arab. Bagian kedua menyajikan contoh-contoh bidang perniagaan, seperti pertukaran mata uang serta penghitungan rugi laba. Bagian ketiga berisi diskusi menyangkut persoalan matematika. Dan bagian terakhir berupa sistem taksiran, baik dari urutan angka maupun geometri. Tak hanya itu, buku ini juga memasukkan metode geometri Euclidea serta persamaan linear simultan.

Angka Arab sudah lama dipergunakan sebagai simbolisasi penomoran atau penghitungan. Sistem ini terdiri dari 10 angka dengan bentuk yang berbeda-beda. Angka yang berada di sisi paling kiri punya nilai paling tinggi. Pada perkembangan selanjutnya, sistem angka Arab ini memakai pula tanda desimal serta tanda pengkalian dua. Al-Khawarizmi lah salah seorang penggagasnya. Dari waktu ke waktu, variasi juga kian bertambah. Pada bentuk yang lebih modern, sistem angka Arab dapat merepresentasi setiap angka rasional dengan 13 tanda (10 digit, tanda desimal, tanda bagi, tanda strip di depan untuk menandakan angka negatif dan sebagainya).

Penting pula dicatat, seperti halnya sistem angka yang lain, angka 1,2 dan 3 ditunjukkan dengan penandaan sederhana. 1 ditandai dengan satu garis, 2 dengan dua garis (sekarang dihubungan dengan diagonal) dan 3 dengan tiga garis (dihubungkan dengan dua garis vertikal). Setelah ketiganya, maka angka berikut memakai simbol yang lebih kompleks. Para ahli memperkirakan, hal ini dikarenakan semakin sulit untuk menghitung objek lebih dari tiga.

Secara keseluruhan, sistem angka Arab terbagi atas dua kelompok angka yakni sistem angka Arab Barat (west Arabic numerals) dan sistem angka Arab Timur (east Arabic numerals). Sistem angka Arab Timur banyak dipergunakan di wilayah negara Irak -- dalam tabel dicantumkam pada Arabic-Indic. Arab-Indic Timur merupakan variasi lebih lanjut dari angka Arab Timur. Sementara angka Arab Barat dipakai di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Maghribi -- contoh angka dalam tabel pada bagian Eropa.



Di negara Jepang, angka Arab dan angka Romawi keduanya dipakai pada sistem yang bernama romaji. Jadi, jika nomor ditulis dalam angka Arab, mereka mengatakan "ini ditulis dengan romaji" (tidak sama dengan angka Jepang). Itu kemudian diterjemahkan sebagai 'karakter Romawi' sehingga agak membingungkan bagi mereka yang mengenal angka Romawi.

Sistem angka Arab diakui sebagai salah satu paling berpengaruh pada bidang matematika. Para ahli sejarah sepakat bahwa angka tersebut berawal dari India. Terlebih setelah orang Arab sendiri menyebut angka yang mereka gunakan sebagai 'angka India' atau arqam hindiyyah. Itu kemudian ditransfomasikan di dunia Islam sebelum tersebar melalui Afrika Utara, Spanyol, dan akhirnya sampai ke Eropa.

Bukti sejarah mengemukakan angka 0 sudah dipergunakan pula di India sejak tahun 400 masehi. Kode angka Aryabhata telah menerangkan secara lengkap mengenai simbol angka 0. Juga pada masa pemerintahan Bhaskara I (abad 7 masehi) dasar sistem 10 angka sudah dipergunakan secara luas di negara tersebut serta pengenalan konsep angka 0.

Sistem angka tersebut sampai ke Timur Tengah pada tahun 670. Ketika itu para ahli matematika Muslim yang banyak berkiprah di Irak, semisal al-Khawarizmi, sudah mengenal sistem angka Babilonia yang juga memakai 0 digit, hingga pengenalan sistem dari India tersebut tidak perlu memakan waktu terlalu lama. Lantas pada abad 10, ilmuwan Arab meningkatkan sistem angka desimal berikut pecahan, seperti tercatat dalam karya Abu'l-Hasan al-Uqlidisi tahun 952-953.

( yus/berbagai sumber )
Sumber: Republika Online

Nanoteknologi, Antara Impian dan Kenyataan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya mengembangkan suatu cabang baru teknologi yang populer disebut Nanoteknologi. Milyaran dollar dana mulai dikucurkan di negara-negara ini, di berbagai bidang penelitian. Semuanya berlomba-lomba menggunakan kata kunci Nanoteknologi. Sebenarnya apa itu nanoteknologi? Dan mengapakah begitu banyak peneliti di berbagai negara berlomba-lomba memasuki bidang yang satu ini? Seberapa luaskah ruang lingkupnya? Mengapakah baru beberapa tahun ini terjadi boom nanoteknologi?



Sesuai dengan namanya, nanoteknologi adalah teknologi pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter. Untuk dapat membayangkan dimensi nanometer, bisa kita ambil contoh dari tubuh kita sendiri.

Sehelai rambut manusia kira-kira memiliki diameter 50 mikrometer. Satu mikrometer sendiri adalah seperseribu milimeter. Dan satu milimeter adalah ukuran satuan panjang terkecil pada penggaris tulis 30 cm yang biasa dipakai anak-anak sekolah. Dan satu nanometer adalah seperseribu mikrometer, atau kira-kira sama dengan diameter rambut kita yang telah dibelah 50.000 kali!! Sebagai perbandingan lain, ukuran sel darah merah kita adalah sekitar 20 mikro meter, dan sel bakteri perut adalah 2 mikro meter. Protein memiliki ukuran beberapa puluh nanometer.

Dari sudut pandang ukuran atas ke bawah (top-down) seperti itu, nanoteknologi menjadi penting dalam dunia rekayasa karena manusia berusaha untuk mengintegrasikan suatu fungsi atau kerja dalam skala ukuran yang lebih kecil dan lebih kecil. Mengapa? Orang bilang, "small is beautiful (kecil itu indah)", tetapi, tentu saja mengintegrasikan suatu fungsi mesin atau perkakas dalam ukuran yang lebih kecil bukan hanya berarti memperindahnya tapi juga berarti memperkecil energi yang diperlukan per suatu fungsi kerja dan berarti pula mempercepat proses serta mempermurah biaya pekerjaan. Sebagai contoh yang mudah kita pahami adalah apa yang terjadi pada dunia komputer dan mikroprosesor. Pabrik-pabrik mikroprosesor seperti IBM, Intel dan Motorola terus berusaha mempertinggi tingkat integrasi mikroprosesornya.

Sekira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, jarak antar gate (gerbang) MOS (Semikonduktor oksida logam) adalah 0,75 m, dan level integrasinya pada 5P 80386 hingga 80486 adalah sekira 100.000 sampai 1 juta transistor dalam satu chip. Tapi, pada Pentium IV, teknologi pemrosesan IC (rangkaian terintegrasi) yang dipakai telah berhasil memperkecil jarak antar gerbang menjadi hanya 0,125 m dan mencapai level integrasi hingga 100 juta transistor dalam satu keping chip.

Jarak yang lebih kecil antar gerbang berarti makin kecilnya waktu yang diperlukan untuk perjalanan suatu elektron (artinya switching rate makin cepat) dan berarti pula makin kecilnya daya yang diperlukan prosesor tersebut. Lebih dari itu, makin banyak fungsi yang bisa diintegrasikan dalam prosesor tersebut, seperti built-in multimedia, pemrosesan suara, dan lain sebagainya.



Selain itu, teknologi pemrosesan IC ini mulai digunakan pula untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi mekanik dan elektrik untuk membuat mesin, sensor atau aktuator pada ukuran milli, mikro, hingga nanometer. Struktur mikro yang mengintegrasikan fungsi mekanik dan elektrik inilah yang biasa disebut Micro Electro Mechanical System (MEMS). Sebagai contoh teknologi MEMS memungkinkan pembuatan array sensor tekanan yang berukuran demikian kecil (Gambar 1) hingga dapat ditaruh di mana saja di suatu struktur bangunan atau mesin, misalnya.

Namun, apakah nanoteknologi hanya berkutat dengan rekayasa IC dan mikroelektronika yang kemudian diterapkan pula untuk mikromekanika? Jika hanya demikian apakah perlunya terminologi ini demikian digembar-gemborkan akhir-;akhir ini?

Ternyata memang nanoteknologi yang kini tengah booming tidak hanya terkait dengan rekayasa konvensional top-down IC atau MEMS. Semuanya ini bermula dari pidato ilmiah pemenang Nobel, Richard Feynman tahun 1959, yang berjudul "There is plenty room at the bottom" (Ada banyak ruang di bawah), yang kini banyak dikutip para peminat nanoteknologi.

Saat itu Feynman mengatakan, adalah mungkin (setidaknya saat itu masih dalam impian) untuk membuat suatu mesin dalam ukuran demikian kecil, yang kemudian dapat digunakan untuk memanipulasi material pada skala ukuran tersebut. Bahkan, saat itu Feynman menyatakan pula, seandainya seorang fisikawan dibekali "mesin" yang tepat untuk memanipulasi atom dan menaruhnya pada tempat yang sesuai, maka ia secara teoritis dapat membuat senyawa atau molekul apa saja, tentu saja yang stabil energinya (stabil = level energi minimum).

Sistem seperti itu, sekalipun bukan pada level atom, setidaknya telah ada di alam, sebagaimana telah ditulis pula oleh K. Eric Drexler dalam landmark papernya tahun 1981, dan mengenalkan istilah molecular manufacturing (manufaktur molekular). Dalam karya tulisnya tersebut, Drexler memberikan beberapa contoh, betapa mesin-mesin berukuran nanometer telah ada di alam dan bagaimana mereka telah terlibat dalam penyusunan molekul dan informasi dalam sel makhluk hidup. Misalnya, ribosom yang menyusun asam amino satu demi satu berdasarkan informasi RNA, untuk memfabrikasi protein, kemudian sistem genetika (enzim-enzim DNA polymerase, RNA polymerase, dll) yang menyimpan dan mengolah informasi genetik, flagella (semacam struktur 'rambut') pada bakteria sebagai motor penggerak, dan lain sebagainya.

Kemampuan untuk memanipulasi material pada skala nanometer adalah penting, sebab pada skala ukuran inilah material mulai membentuk sifat-sifat tertentu berdasarkan strukturnya. Pada level yang lebih kecil, level atomik (skala Angstrom), sifat yang dimiliki adalah sifat dasar atom itu sendiri. Ketika atom mulai bergandeng satu sama lain dan menyusun struktur molekular tertentu, sifatnya pun akan berbeda menurut struktur tersebut. Misalnya, atom Karbon (C), yang ketika tersusun dalam struktur tetrahedron tiga dimensi akan membentuk intan yang keras, tetapi ketika tersusun dalam struktur heksagonal dua dimensi dan membentuk lapisan-lapisan, maka yang kita dapati adalah grafit (bahan baku pensil) yang rapuh.



Nanoteknologi manufaktur molekular diarahkan pada pengembangan metoda (misal berupa 'mesin' berukuran nanometer) yang dapat melakukan penyusunan atom atau molekul komponen tersebut secara teratur dan terkendali untuk membentuk struktur yang diinginkan. Model fabrikasi material bawah ke atas (bottom-up) yang berlawanan dengan teknologi top-down konvensional seperti ini akan memungkinan pengontrolan yang amat presisi sifat material yang terbentuk (misalnya bebas defek/cacat).

Selain itu mengurangi timbulnya limbah saat fabrikasi karena hanya atom/molekul yang akan dipakai saja yang dimanipulasi (berbeda dengan metode atas-bawah yang kerap menimbulkan limbah akibat adanya material yang tak terpakai), dan tentu saja kemungkinan penghematan energi yang juga berarti penghematan biaya. Sistem fotosintesis pada tanaman misalnya adalah suatu contoh sistem manufaktur molekular dengan efisiensi energi yang tinggi.

Masalahnya kemudian, bagaimanakah komponen atom atau molekul tersebut dapat disusun? Seperti juga pendekatan ribosom pada sel, Drexler mengusulkan dibuatnya "lengan-lengan" robot dan komponen mesin lainnya berukuran nano yang memungkinkan untuk melakukan proses-proses layaknya fabrikasi pada level makro: sortir material, konversi energi, penempatan material, dll.

Metode ini disebut Mekanosintesis, melakukan sintesis kimia secara mekanis. Beberapa struktur mesin ukuran nano (yang dibentuk dari beberapa ribu hingga juta atom) telah berhasil disimulasi dengan komputer, yang berarti secara matematis dan fisis mungkin untuk dibuat. Sebagai contoh adalah dinding ruang berisi bahan material dan rotor pompa yang berfungsi memilih secara selektif atom Neon (Ne) untuk siap dipakai pada proses selanjutnya (Gambar 2).

Masalah berikutnya, seandainya struktur seperti itu memang "mungkin" (baca: stabil secara termodinamis) untuk dibuat, bagaimanakah proses untuk membuat struktur-struktur awal yang akan digunakan sebagai mesin-mesin untuk fabrikasi nano berikutnya? Dan dari manakah energi penggerak mulanya?

Beberapa alternatif telah mulai diusulkan dicoba untuk mengatasi masalah pertama. Nadrian Seeman mencoba untuk membuat struktur-struktur dasar tersebut dari molekul DNA (asam deoksiribonukleat, senyawa dasar gen) dengan mengandalkan sifat swa-rakit (self-assembly) dari DNA, yaitu Adenin berikatan dengan Thymin dan Guanin berikatan dengan Cytosin.

Dengan mensintesis DNA dengan deret tertentu, Seeman berhasil membuat bentuk-bentuk dasar kubus dan devais nanomekanik DNA. Peneliti lain di NASA Ames Research Center mensimulasi penggunaan Tabung Nano Karbon (suatu struktur atom karbon berbentuk tabung berdimensi nanometer yang disintesis dengan prinsip swa-rakit dari karbon, menggunakan katalis logam tertentu) untuk membentuk gir dan poros mesin. Struktur gir atau poros bisa dibuat dari tabung nano karbon dengan reaksi kimia tertentu untuk "menempatkan" gugus molekul kimia berbentuk roda (misal benzena) di sekeliling tabung (Gambar 3).

Cara lain untuk menyusun komponen atom atau molekul pada tahap awal ini adalah dengan menggunakan instrumen nanoteknologi, seperti Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force Microscope, AFM), dan Mikroskop Pemindaian Terobosan Elektron (Scanning Tunneling Microscope, STM). Prinsip dasar kedua mikroskop tersebut adalah seperti menggerakkan "tangan peraba" dalam koordinat x-y, sambil mempertahankan jarak (koordinat z) antara "tangan peraba" dengan sampel yang dipelajari (Gambar 4).

Disebut "tangan peraba" karena memang mikroskop-mikroskop ini tidak lagi memakai cahaya sebagai alat pencitraan akibat keterbatasan cahaya pada skala nanometer (adanya efek difraksi cahaya). AFM mendeteksi gaya non kovalen (non ikatan kimia, seperti gaya elektrostatik dan gaya Van der Waals) antara sampel dengan "tangan peraba", sedangkan STM mendeteksi terobosan elektron dari "tangan peraba" yang menembus sampel dan diterima suatu detektor di bawah sampel.



Mula-mula memang instrumen-instrumen ini terbatas hanya digunakan untuk keperluan karakterisasi atau 'pencitraan' sampel. Tapi, belakangan ini, mulai pula digunakan untuk memanipulasi molekul dan atom. Dengan mengubah besar arus terobosan pada STM misalnya, kita bisa mengambil atom O dan mereaksikannya dengan molekul CO untuk membentuk molekul CO2 dan semuanya ini dilakukan dengan presisi molekul tunggal. Pada reaksi kimia biasa, diperlukan cukup banyak komponen molekul yang bereaksi untuk memungkinkan, secara statistik, terjadinya "tumbukan" antar molekul tersebut.

Berkenaan dengan masalah suplai energi struktur mesin pada skala nano, Prof. Montemagno di University of California at Los Angeles telah berhasil mencoba menggunakan bio-nanomotor alami F1-ATPase untuk menggerakkan propeler yang dibuat dengan teknologi MEMS. Bernard Yurke di Bell Labs. menggunakan DNA untuk mencoba membuat nano-motor.

Alternatif lain yang mungkin adalah mengkombinasikan nanoteknologi atas-bawah MEMS dengan nanoteknologi bawah-atas. Motor elektrik dan pembangkit energi (misal baterai lapisan tipis) pada skala mikrometer dengan teknologi MEMS telah banyak dilaporkan. Berikutnya tinggal mentransmisikan gerak dari motor tersebut ke struktur "lengan" robot pada skala yang lebih kecil - nanometer.

Impian nanoteknologi untuk dapat memanipulasi bahan dengan tingkat fleksibilitas sama dengan yang telah dicapai manusia dalam memanipulasi data dengan teknologi informasi, mungkin masih terasa jauh dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Namun, dalam perkembangannya yang masih muda saat ini pun, nanoteknologi telah memberikan warna baru dalam bidang-bidang lain.

Penerapan nanoteknologi dalam bioteknologi analitis misalnya memungkinkan metode-metode baru yang jauh lebih sensitif dan stabil dibandingkan metode konvensional. Perkembangan MEMS, yang sekalipun berangkat dari teknologi konvensional IC, masih berlangsung demikian pesat, dengan adanya aplikasi-aplikasi baru dalam optik (muncul MOEMS - Micro Optical Electro Mechanical System), dalam sistem sensor terintegrasi nir-kawat, dan juga dalam aplikasi RF (Radio Frequency)-MEMS.

Pada pengembangan nanoteknologi inilah demikian terasa, betapa latar belakang ilmu dan teknologi yang multi disiplin sangat diperlukan: matematika untuk pemodelan, fisika untuk pemahaman fenomena-fenomena gaya dan energi, kimia (anorganik maupun organik) untuk pemahaman sifat material, serta biologi untuk pembelajaran sistem-sistem rekayasa pada makhluk hidup.

Selain itu kreativitas dan daya kreasi yang tinggi sangat diperlukan untuk menemukan terobosan teknik dan metoda baru, serta aplikasi yang cocok. Tentu saja keluhuran moral dan agama tetap diperlukan agar penerapan teknologi ini tidak malah merugikan keberlangsungan hidup ummat manusia.

Dedy H.B. Wicaksono, Alumnus Teknik Fisika ITB, kandidat doktor bidang Biomimetic Sensor di Dept. Microelectronics, Technische Universiteit Delft, Belanda.

Sumber: Pikiran Rakyat