Sebagai negara berkembang yang sekarang baru dirundung duka akibat krisis multidimensi, mungkin sangat naif kiranya kalau kita berbicara mengenai masalah pengembangan bioteknologi dan rekayasa genetika. Namun, kapan kita akan memulai bila hanya masalah-masalah politik dan disintegrasi bangsa yang selalu menonjol di permukaan? Perlu kita ingat bahwa bangsa-bangsa yang telah maju sudah berpikir 20-50 tahun ke depan, sedangkan kita masih berkutat dengan permasalahan perebutan kekuasaan, disintegrasi bangsa, kolusi, korupsi dan nepotisme.
Dalam bidang bioteknologi dan rekayasa genetika, kita sangat jauh tertinggal, padahal ini merupakan bidang unggulan yang bisa mengubah secara eksponensial pendapatan negara melalui jalur pendapatan hasil pertanian, peternakan, obat, enzim, kosmetika, bahan makanan, dan sebagainya.
Negara-negara dengan areal kecil, seperti Israel, Jepang, Thailand, dan Singapura sudah sangat jauh mengembangkan bidang ini. Selain itu, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, dan Jepang telah lama mengadakan riset terpadu di bidang bioteknologi, bahkan mereka telah menjual produk-produk baru dengan hak paten dari hasil biotek dan rekayasa genetika, seperti antibiotik, obat-obatan, bahan kosmetik, bahan makanan serta tanaman transgenik, dan sebagainya.
Bangsa Indonesia yang merupakan negara terbesar kedua akan plasma nutfahnya setelah Brasil, belum menampakkan niatnya untuk memanfaatkan produk bidang ini sebagai sumber devisa negaranya. Padahal, kalau kita ambil satu gram sampel tanah sawah atau kita ambil beberapa mili liter air laut dan danau, akan kita temukan banyak jenis bakteri atau jamur yang menghasilkan enzim dan bioaktiv tertentu.
Sebagai contoh, dari hasil screening pada sampel tanah sawah pertanian dengan tanaman pokok padi IR64, diperoleh beberapa strain bakteria penghasil enzim phytase dan phosphatase, di antaranya marga Bacillus, Klebsiella, Enterobacter, Pantoea, dan bakteri-bakteri baru yang sama sekali belum dikenal secara taksonomi. Enzim phytase merupakan komoditas yang sangat bagus karena merupakan salah satu anggota dari kelompok enzim phosphatase yang mampu menghidrolisis senyawa phytat (Myo-Inositol (1,2,3,4,5,6)hexakisphosphat). Enzim ini sekarang menjadi salah satu enzim komersial di dunia.
Senyawa Phytat adalah senyawa phosphatkomplek hingga 88 persen oleh tanaman disimpan dalam biji-bijian (kelompok padi-padian dan polong-polongan). Senyawa ini mampu mengikat logam-logam seperti Mg, Mn, Fe, Zn, Ca, dan protein yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman, hewan, dan manusia. Karena ketiadaan enzim phytase pada saluran pencernaan hewan (khususnya hewan monogastric/nonruminantia: seperti unggas dan ikan) serta manusia, maka kandungan senyawa phytat dalam biji yang dikonsumsi tidak bisa dicerna karena kuatnya sifat chelating pada senyawa phytat. Untuk itu maka senyawa ini terbuang percuma bersama kotoran (feses). Padahal, biji-bijian umumnya adalah sumber makanan ternak dan makanan pokok kita.
Studi tentang enzim ini sangat pesat pada beberapa tahun terakhir karena besarnya interes dalam aplikasinya guna mereduksi kandungan phytat dalam rangsum makanan ternak maupun makanan manusia. Bahkan, baru-baru ini ditemukan adanya peranan enzim phytase dalam pertumbuhan tanaman (sebagai phytostimulan).
Enzim phytase dari bakteria marga Klebsiella yang diisolasi dari tanah sawah pertanian Indonesia oleh penulis telah berhasil dipurifikasi, dikloning, disequensing, dioverekspressikan, dan dikarakterisasi.
Enzim rekombinant ini mempunyai aktivitas spesifik yang tinggi, atau sekitar 1.000 x dari bakteri biasa dan 5 x lebih tinggi bila dibandingkan phytase rekombinant dari marga Bacillus. Di samping itu, phytase rekombinant ini selain mampu menghidrolisis senyawa phytat sampai pada Inositol (2) monophosphat, juga mempunyai aktivitas merombak senyawa phosphatkomplek organik dan anorganik lainnya. Dengan demikian secara ekonomis enzim rekombinant ini dapat digunakan untuk keperluan industri.
Keunggulan bakterial phytase bila dibandingkan dengan phytase dari tanaman dan jamur adalah, bakterial phytase mempunyai kemampuan merombak senyawa phytat sampai pada Inositol monophosphat dan lebih tahan pada suasana pH netral dalam saluran pencernaan dan tanah pertanian.
Berikut diberikan contoh lain hasil screening, isolasi, dan taksonomi dari marine bakteria yang pernah penulis lakukan inventarisasi dari air laut dan fungi penghasil enzim yang bermanfaat dalam bidang industri makanan, penyamakan kulit, perombak limbah organik, antibiotik, dan makanan ternak.
Dari hasil screening kemudian ditindaklanjuti dengan isolasi gen 16S r RNA beserta analisis sequensingnya guna mengetahui nama dari spesimen dan sejarah evolusi bakteria. Berikutnya adalah isolasi gen dan enzim yang akan diproduksi dalam skala industri, enzim-enzim yang mempunyai kualitas dan thermosatbilitas tinggi dapat dikloning, disequensing dan diekspresikan sehingga dapat diperoleh rekombinant baru penghasil enzim yang berkualitas unggul. Organisme rekombinant kemudian dikulturkan dalam bioreaktor/fermentor. Setelah diadakan purifikasi enzim maka produk dapat dijual ke pasar nasional dan international.
Keuntungan pekerjaan bioteknologi adalah tidak memerlukan lahan yang luas, efisien waktu, dan sedikit tenaga kerja dalam meproduksi suatu produk. Namun, sisi lain yang harus dipersiapkan adalah laboratorium sentral penelitian dan pengembangan bioteknologi di Indonesia.
Biotek di negara maju
Berikut ini diberikan contoh salah satu model yang sudah dikembangakan di negara-negara maju seperti Jerman. Di bawah bidang pengembangan riset bioteknologi dan badan pusat pengembangan biosensorik telah dikerjakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Screening: inventarisasi bahan-bahan yang berguna dapat dikelompokkan eksplorasinya, meliputi: a) screening, isolasi, dan karakterisasi dari bahan-bahan aktif biologi yang bermanfaat dalam bidang farmasi, kedokteran, kedokteran hewan, bidang industri makanan dan biologi molekuler. b) screening, isolasi, dan karakterisasi dari bahan alam yang bermanfaat dalam bidang biotransformasi dan bahan perombak limbah, sumber makanan, kosmetik, dan perlindungan tanaman.
2. Hasil screening, isolasi, dan karakterisasi tersebut kemudian dikerjakan dalam skala industri sehingga menghasilkan produk baru (paten) yang dapat menyumbang devisa.
3. Selaian itu dikembangan penelitian tentang biosensorik khusus dalam penggunaan di bidang kesehatan, lingkungan hidup, dan analisis makanan. Dalam kerja ini melibatkan ahli bidang kimia, fisika, farmasi, biologi, teknik kesehatan, teknik elektro, mineralogi, dan teknik kimia.
Untuk mencapai kemajuan seperti di negara-negara yang penulis sebut di atas mungkin masih sulit, apalagi dengan situasi perekonomian negara seperti sekarang ini. Namun, minimal kita perlu memulai untuk memelihara plasma nutfah kita agar tidak mengalir ke luar negeri, sambil mengadakan inventarisasi plasma nutfah dan bank gen yang merupakan pinjaman kita kepada anak cucu kita.
Harapan kepada pemerintah
Sejak zaman penjajahan, plasma nutfah dari Tanah Air mengalir deras ke luar negeri, dan banyak pula yang telah mendapatkan hak paten hanya atas nama orang luar negeri. Kalaupun ada paten atas nama peneliti Indonesia, barangkali belum memberikan kontribusi kepada pendapatan devisa negara. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan, kebijakan, atau undang-undang baru tentang pelestarian plasma nutfah Indonesia. Untuk itu maka kerja sama dengan dunia luar harus dikaji pengaruh jangka panjangnya terhadap perlindungan plasma nutfah kita.
Beberapa kasus pengambilan plasma nutfah yang akhir-akhir ini terjadi perlu kita cermati:
1. Negara donor pemberi bantuan beasiswa atau kerja sama penelitian dengan melalui mahasiswa program studi lanjut keluar negeri atau partner riset, khususnya untuk bidang bioscience, adalah wahana pengambilan plasma nutfah yang tidak sedikit.
Pembimbing umumnya memberikan tugas kepada para mahasiswanya mengambil sampel dari Indonesia, seperti tanah, tanaman, mikroorganisma, dan hewan. Untuk itu perlu adanya perjanjian tertulis bilateral dengan negara donor pemberi beasiswa/pemberi dana penelitian, sehingga kepemilikan dan hak paten dari isolat plasma nutfah dapat dilaksanakan bersama dengan prosentase minimal 50 persen : 50 persen.
2. Kerja sama pengelolaan taman nasional, kebun raya, kebun binatang, museum purbakala, hutan, laut dan pantai yang melibatkan negara asing perlu adanya perjanjian tertulis yang berkaitan dengan upaya penyelamatan plasma nutfah Indonesia. Dari beberapa seminar internasional yang pernah penulis ikuti, Indonesia sudah merupakan target eksplorasi palsma nutfah, misalnya zat antibakteria yang diburu dari strain jamur dan bakteri, terutama yang berasal dari ekosistem ekstrem. Tidak menutup kemungkinan enzim dan bahan bioaktiv lainnya yang mempunyai nilai ekonomis menjadi sasaran eksplorasi oleh peneliti luar negeri.
3. Aliran plasma nutfah melalui penumpang pesawat terbang dan kapal laut yang menuju luar negeri perlu dipantau dan didokumentasikan. Baik sengaja maupun tidak sengaja, para penumpang (WNI maupun WNA) membawa plasma nutfah (tanaman, tanah yang berisi mikroorganisme, dan hewan) dari Indonesia. Untuk itu perlu adanya kerja sama antara beberapa departemen terkait dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan dan kebijakan.
4. Pengembangan riset terpadu di daerah darat, perairan laut, dan pantai perlu segera direncanakan dan sebisa mungkin dilaksanakan di Indonesia dengan melibatkan beberapa instansi dan metode terkait, termasuk di dalamnya adalah swasta, dengan dibentuk suatu badan pengkajian riset dan bioteknologi kelautan, misalnya di bawah naungan Kementerian Negara Ristek atau Departemen Kelautan dan Perikanan.
Adjid Sajidan Staf pengajar Universitas Sebelas Maret, Mahasiswa S3 Biologi/Genetika Bakteridi Humboldt Universitdt zu Berlin, Jerman
Sumber: Kompas Cyber Media
No comments:
Post a Comment